REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Bambang Brodjonegoro, menjelaskan, rencana pemindahan ibu kota Jakarta saat ini turut mempertimbangkan aspek sejarah. Pemerintah ingin membangun ibu kota dengan dasar pemikiran sendiri.
Menurut Bambang, Jakarta sejatinya telah dijadikan ibu kota sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Jakarta, lanjut Bambang, awalnya dikembangkan dan didirikan pada 1916 silam oleh kongsi dagang atau Vereenigde Oostindische Compagnia (VOC) menjadi pusat perdagangan. Jakarta yang saat itu bernama Batavia alhasil berkembang menjadi ibu kota Indonesia.
"Fakta sejarah, Jakarta itu pusat kolonial Belanda sejak 1916 dikembangkan oleh VOC dan menjadi pusat pemerintahan," kata Bambang di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (6/5).
Atas dasar fakta sejarah itu, kata Bambang, pemerintah juga ingin mendirikan ibu kota dengan dasar pemikiran sendiri. Bukan atas campur tangan pihak lain yang menjajah Indonesia seperti yang tercatat dalam sejarah Jakarta. "Tentu, kita ingin punya ibu kota yang berasal dari buah pemikiran di wilayah NKRI," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, ia mengatakan beban Jakarta sudah terlalu amat berat. Dari hasil kajian yang telah dilakukan, masalah utama Jakarta meliputi kemacetan lalu lintas, banjir, hingga masalah ketersediaan air bersih untuk penduduk.
Selain itu, Jakarta sudah mengalami kapasitas penduduk. Sebagai kota sebagai kota terbesar di Indonesia memiliki penduduk hingga 10,5 juta jiwa. Sementara, Surabaya yang menjadi kota kedua terbesar hanya memiliki tiga juta penduduk.
Akibat kompleksitas masalah tersebut kesenjangan ekonomi tidak terhindarkan. Bambang mengatakan, bukan hanya kesenjangan antara Jawa dan Luar Jawa, tapi antara Jakarta dan wilayah luar Jakarta juga memiliki kesenjangan yang tajam.
"Kesenjangan ekonomi cukup besar ditambah 50 persen penduduk Indonesia itu ada di Pulau Jawa. Makanya dalam lima tahun ke depan lewat pemindahan ibu kota kita juga ingin kurangi kesenjangan," katanya.