Rabu 01 May 2019 19:10 WIB

Guru Besar ITB Nilai Pemindahan Ibu Kota Harus Terapkan 4.0

Hal ini akan membuat kerja pemerintahan akan lebih efektif.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Pemindahan ibu kota (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Pemindahan ibu kota (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Guru Besar Institut Teknologi Bandung juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas (APIC) Prof Dr Ir Suhono Harso menilai, pemindahan Ibu Kota Indonesia harus memerlukan aspek yang terintegrasi dengan menerapkan sistem pemerintahan 4.0. Tentunya, dengan menggunakan teknologi yang memudahkan kerja pemerintahan.

"Kehadiran teknologi ini tentu bisa memberikan kontribusi bidang bidang lain seperti bidang pendidikan, kesehatan , perdagangan hingga pemerintahan," ujar Suhono kepada wartawan di Bandung, Rabu (1/5).

Suhono mengatakan, saat ini, wacana pemindahan Ibu Kota Indonesia mencuat kembali akhir bulan April lalu. Bahkan isu tempat yang diusulkan seperti Jonggol, Kertajati Jabar, hingga Kalimantan dan Sulawesi terus menjadi bahan diskusi.

Suhono menilai, masing-masing punya dasar dan alasan. Yakni, dengan faktor seperti biaya, teknis, sosial, keamanan, kenyamanan, ekonomi hingga lingkungan, termasuk juga masalah pemerataan dan mungkin politik.

Namun, kata dia, masih jarang yang membahas (konsider) beban pemerintahan yang akan diemban oleh ibu kota ke depan, pada 100 tahun kemerdekaan yakni tahun 2045. Selama 25 tahun ke depan, cukup untuk melakukan rencana pembangunan dalam rangka pencapain cita-cita bangsa.

"Transformasi pada hakekatnya adalah perubahan dari satu kondisi ke suatu kondisi yang diharapkan. Makna hijrah yang sering dimaknai pindah lokasi, bisa diartikan juga perubahan," katanya.

Sementara itu, kata Suhono, lima tahun terakhir masyarakat juga disibukan dengan hadirnya suatu revolusi industri yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0. Nantinya, kehadiran disrupsi teknologi seperti IoT, Cloud Computing hingga kecerdasan buatan telah mengubah cara pabrik atau industri berproses.

Menurut Suhono, pemerintahan yang mempunyai fungsi perencaanaan, pelaksanaan, pengaturan hingga pengawasan pembangunan, tentu sangat bisa terbantukan oleh teknologi informasi. Jadi, kerja pemerintahan akan lebih efektif dalam melakukan observasi, orientasi, keputusan dan tindakan sistem pemerintahan.

"Beban atau proses yang selama ini dilakukan untuk fungsi administrasi, baik dalam monitoring, pelaporan rapat bahkan proses pengambilan keputusan dengan mudah terbantukan oleh teknologi," katanya.

Suhono mengatakan, teknologi robot, komputasi, jaringan, hingga kecerdasan tiruan (Artificial Intellegence) sangat dimungkinkan mengurangi beban admistrasi pemerintahan. Bahkan, bisa dilakukan penyimpanan dokumen secara terdistribusi. Misalnya, jika ada bencana, data bisa disimpan secara "mirror" di beberapa lokasi atau yang disebut sebagai "Data Recovery Center". Termasuk pertemuan, rapat, koordinasi bisa dilakukan melalui jejaring video, teks dan suara.

"Sejatinya pemerintah juga sedang siapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik, walau progresnya, sejak ada Inpres e-Gov 2003 hingga Perpres SPBE 2018 masih belum membanggakan," katanya.

Karena, kata dia, mungkin ekosistem pendukungnya belum siap. Terutama,  menyangkut sarana dan prasarana, regulasi hingga sumber daya manusia. Dalam kerangka 25 tahun kedepan menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia, jika progres Making Indonesia 4.0 berhasil maka proses pemerintahan mestinya dengan mudah dibantu oleh teknologi informasi.

Upaya pemindahan Ibu Kota atau tetap di ibu Kota lama, kata Suhono, perlu memperhatikan kebutuhan ibu kota dan kemampuan teknologi dalam membantu tugas dan fungsi ibu kota jangka panjang. Roadmap pemerintahan berbasis elektronik (smart government) perlu dibuat dan dikaji lebih rinci, kebutuhan ruang Aparatur Sipil Negara, pertemuan, dan sistem terdistribusi bisa mengurangi beban Ibu Kota.

Suhono pun mengungkapkan prediksiknya tahun 2045, Aparatur Sipil Negara dan penduduk akan diisi oleh kaum yang saat ini banyak disebut sebagai generasi millenia, yaitu generasi yang tidak perlu kantor tetap, lebih bisa kerja di "co working space" atau sistem kerja gabungan non formal dengan dunia virtual. Tentu ini akan berpengaruh terhadap rancangan "government co working space. 

"Masalah infrastructure sharing, tidak boleh dilupakan juga masalah keamanan fisik dan virtual. Hoax dan hacker perlu di antisipasi lebih baik lagi," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement