Kamis 25 Apr 2019 15:20 WIB

Benarkah PSI dan Perindo Kalah karena Ketumnya Non-Muslim?

siapa pun orang Indonesia punya kesempatan sama meraih prestasi di bidang politik

Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie berpidato saat kampanye dalam #Festival11 Yogyakarta di Jogja Expo Centre (JEC), Bantul, DI Yogyakarta, Senin (11/2/2019).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie berpidato saat kampanye dalam #Festival11 Yogyakarta di Jogja Expo Centre (JEC), Bantul, DI Yogyakarta, Senin (11/2/2019).

Hari ini saya termenung, ada akun asli menuangkan kekecewaannya di Twitter, lantaran beberapa hitung cepat memprediksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) belum sukses masuk DPR RI.  “Sempet optimis dengan hadirnya Grace Natalie, berarti akan ada panutan untuk perempuan-perempuan muda double (or even, triple) minority lainnya. Tapi ternyata Indonesia memang belum siap ketemu kami para perempuan double & triple minority ini”. tulis akun itu.

Saya garisbawahi kesimpulan dalam kalimat “Tapi ternyata Indonesia memang belum siap” dan delapan kata setelahnya. Sebab kalimat itulah yang menyulut saya termangu lama. Sebelumnya, saya juga mendengar beberapa orang mengatakan “PSI dan Perindo tak mungkin lolos, ketumnya double minority, Kristen dan Cina”.

Saya lebih sering diam, hanya sekali saya tanggapi dalam sebuah obrolan di TIM, Cikini menjelang tahun baru 2019. “Sekjendnya PSI dan Perindo kan orang Muhammadiyah. PKS di tahun 1999 juga gagal memenuhi ambang batas parlemen, karena suaranya hanya 1.36 persen, bukankah Ketum PKS agamanya Islam," kata saya kala itu.

photo
Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo

Jadi, Grace Natalie (PSI), Hary Tanoesoedibjo (Perindo) belum dapat empat persen suara (versi quick count) bukan karena agama dan sukunya. Sama halnya dengan Yusril Ihza Mahendra (PBB), Oesman Sapta Odang (Hanura), Ahmad Ridha Sabana (Garuda), Tommy Soeharto (Partai Berkarya), Diaz Faisal Malik Hendropriyono (PKPI) belum dapat empat persen suara, juga bukan karena agama dan sukunya.

Saya memaklumi protes simpatisan PSI di atas, dan saya juga tidak mengganggap itu mewakili PSI. Kita tentunya menyadari keberagaman alasan seseorang dalam memilih, dan kita menghormati itu. Saya yakin sekali pemilih PSI dan Perindo banyak yang berbeda latar belakang dengan Ketum PSI maupun Perindo.

Saya hanya ingin tegaskan, siapa pun orang Indonesia yang double, triple, bahkan quadruple minority sekalipun telah terbukti punya kesempatan sama meraih prestasi di bidang politik, bisnis di Indonesia. Di bidang bisnis banyak sekali bukti.

Di politik, Ahok yang double minority pernah dipilih rakyat jadi Bupati Kabupaten Belitung Timur dan kembali dipilih rakyat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Banyak contoh lainnya sejak zaman Soekarno-Hatta hingga sekarang. NKRI ini surga bagi agama, etnis apa pun. Saya sendiri kurang sreg dengan istilah double minority ini.

Indonesia ini mayoritas Muslim, tetapi mengapa PBB dan PPP sedikit banget suaranya, padahal lambang PBB bulan sabit-bintang, dan PPP lambangnya Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam. Apa kurang Islamnya Yusril Ihza Mahendra, MS Kaban dkk dan Suharso Monoarfa, Asrul Sani, Muhammad Arwani Thomafi dkk? Tentu tidak. Masyarakat punya logika dan kecerdasan sendiri dalam menentukan pilihan politiknya.

Saya pernah kalah dalam sebuah pemilihan ketua umum organisasi mahasiswa, saat itu saya menyalahkan pemilih, untung ada senior yang mengingatkan “kritik dirimu, tim suksesmu, jangan menyalahkan pemilih, instrospeksi itu ke dalam bukan ke luar”. Kata senior itu. Tentu tidak setara membandingkan pileg dan pemilihan umum mahasiswa, itulah sebab saya memaklumi jika ada orang yang menyalahkan pemilih, kemungkinan besar mereka tergesa-gesa menyimpulkan.

Maksud saya menulis ini, agar orang tidak cepat menggangguk pada opini-opini yang membuat bangsa ini pesimis. Apalagi jika ujung-ujungnya yang jadi kambing hitam salah satu golongan dalam bangsa kita. Label-label negatif terhadap umat Islam dan umat lainnya pasti merugikan kepentingan nasional Indonesia.

Dua ribu sembilan belas hingga selanjutnya kita berharap benturan antara kelompok yang mengaku paling pancasila dan kelompok paling pancasila lainnya berkurang atau semoga hilang. Cara pandang dan isu kita harus naik kelas.

Kemudian, janganlah kita menyalahkan rakyat atau utamanya pemilih karena kegagalan partai dan idola kita. Di tengah banyaknya provokasi elite, pelabelan negatif yang dibuat timses untuk menjatuhkan lawan, masyarakat tetap tenang. Jika ada “award” dalam pemilu 2019, maka rakyat Indonesia yang paling berhak.

Sebagai penutup, saya kutip pidato Bung Karno saat ia menceramahi seluruh pemimpin dunia dalam sidang Umum PBB pada 30 September 1960, “Bukan pelucutan senjata yang membuat perdamaian, tetapi pelucutan kebencian dari hati manusia” kata Soekarno waktu itu. Judul pidatonya To Build The World a New. Salam NKRI, mari sama-sama instrospeksi.

TENTANG PENULIS

HARIQO WIBAWA SATRIA, Direktur Eksekutif Komunikonten.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement