REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari, mengatakan pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang sebaiknya dipisah untuk pusat dan daerah. Selain lebih fokus, pemisahan ini juga bermanfaat agar masyarakat memahami betul esensi dari pemilihan yang diselenggarakan.
"Iya sebaiknya begitu (dipisah, Red). Ke depan desainnya serentak nasional untuk memilih lembaga nasional seperti presiden, DPR dan DPD. Kemudian, keserentakan pemilu daerah yang meliputi pemilihan untuk gubernur, wali kota, bersamaan dengan DPRD provinsi serta kabupaten/kota," ujar Hasyim ketika dihubungi wartawan, Ahad (21/4).
Dia pun mengungkapkan KPU sudah berpandangan untuk memisahkan pemilu pusat dan daerah. Ada sejumlah pertimbangan yang mendasari hal itu.
Pertama, dalam sistem pemerintahan ada relasi pemerintah dengan legislatif. Semestinya dalam pemilu serentak itu DPR dengan presiden dilakukan bersama.
"Namun di daerah kan tidak (tidak ada relasi, Red). Contoh, Pilkada 2018 untuk memilih kepala daerah, nah yang mengusung kan parpol yang punya kursi atau punya suara hasil Pemilu 2014. Sementara pada 2019 ini kan dilaksanakan Pemilu 2019, itu konstelasi konfigurasi di DPR bisa berubah," ungkap Hasyim.
Jika demikian, maka implikasinya langsung kepada pemilih. "(Jika tidak dipisah) pemilih juga binggung ini orang kampanye yang satu kampanyekan tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota. Maka jadi tidak fokus. Sementara kalau dipisah orang akan fokus, oh ini lagi bicara soal daerah, dan seterusnya," tegas Hasyim.
Sementara itu, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan pada Pemilu Serentak 2019, memiliki volume kerja yang sangat besar. Konsekuensinya, energi dan pikiran penyelenggara juga berlipat-lipat ditujukan untuk pelaksanaan pemilu.
Wahyu pun berpandangan bahwa beban kerja yang berat ini memicu terjadinya kelelahan untuk pelaksana di lapangan (KPPS). Bahkan puluhan KPPS meninggal dunia saat melaksanakan tugas pada 17 April lalu.
Meski begitu, Wahyu menyerahkan teknis pelaksanaan Pemilu mendatang kepada pemerintah dan DPR sebagai penyusun undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017). "Mungkin ini bisa menjadi masukan dalam menyelenggarakan pemilu selanjutnya. KPU dalam hal ini posisinya sebagai pelaksana undang-undang. Kami kembalikan kepada pembuat UU, " tutur Wahyu.