Selasa 16 Apr 2019 23:43 WIB

Hakim Pulang Kampung untuk Nyoblos, Putusan Idrus Ditunda

Sedianya, Idrus Marham menjalani sidang putusan pada Selasa (16/4).

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham (kanan) berjabat tangan dengan jaksa penuntut umum seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (16/4/2019).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham (kanan) berjabat tangan dengan jaksa penuntut umum seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (16/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menunda persidangan kasus penerimaan suap proyek PLTU Riau-1, Idrus Marham. Sedianya, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu menjalani sidang putusan pada Selasa (16/4) hari ini.

Ketua majelis hakim, Yanto menjelaskan alasan penundaan pembacaan vonis dikarenakan dua anggota majelis hakim harus pulang ke kampung halaman pada Selasa (16/4) sore. Dua hakim itu berniat memberikan hak suaranya dalam Pemilu 2019 pada Rabu (17/4)

"Sedianya hari ini putusan, tapi saya kemarin baru pulang dari Spanyol, kemudian semalam sudah musyawarah, kemarin sedianya putusan akan kami bacakan kurang lebih jam 4, tapi ternyata besok itu pemilu, nyoblos, dua anggota saya besok itu pemilu, nyoblos, dua anggota saya sudah beli tiket jam 4, sehingga kalau dibacakan jam 4 tidak terkejar karena dia harus ke bandara, dan anggota saya yang sebelah juga nyoblos di Kupang, nanti jam 4 tiket," terang Hakim Yanto di PN Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (16/4).

Hakim Yanto mengatakan, setelah musyawarah dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU KPK), penasihat hukum untuk ditunda pada Selasa (23/4) pekan depan. "Sidang kami tunda satu minggu tanggal 23 April 2019," kata Yanto.

Sebelum menjalani persidangan, Idrus meyakini tidak terbukti menerima suap terkait proyek PLTU Riau-1. Dia bahkan yakin divonis bebas lantaran berdasarkan fakta-fakta persidangan selama ini dirinya tidak terbukti sebagaimana dituduhkan KPK. 

"Kotjo yang punya proyek mengatakan Idrus itu enggak paham sama sekali (proyek PLTU Riau-1)," kata Idrus.

Terkait dengan ‎dakwaan KPK, bahwa Idrus menerima suap dari pengusaha Johannes B Kotjo karena butuh dana untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar juga telah dibantah Eni Maulani Saragih. "Eni mengatakan ada perubahan arah politik yang tadinya Idrus calon Ketum jadi tidak jadi. Berarti uang-uang enggak jadi ke Idrus," kata Idrus.

Sebelumnya, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dituntut 5 tahun penjara oleh JPU KPK. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.

Dalam tuntutannya, mantan Sekertaris Jenderal Partai Golkar itu terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Masih dalam tuntutan, uang tersebut  diduga agar mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo. Awalnya, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.

Namun, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, Kotjo menemui Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar saat itu yakni Setya Novanto. Kepada Novanto, Kotjo meminta bantuan agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN. Menyanggupi permintaan Kotjo, Novanto mengenalkan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang menaungi Komisi  VII DPR, yang membidangi energi.

Setelah itu, Eni pun melakukan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU. Menurut jaksa, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Saat itu, Idrus menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Golkar, lantaran Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan KTP-elektronik (KTP-el).

Adapun, dalam pertimbangan Jaksa KPK terdapat hal yang meringankan dan memberatkan. Untuk yang meringankan, Idrus bersikap sopan selama persidangan. Ia juga belum pernah dipidana. Selain itu, Idrus tidak menikmati hasil pidana yang dilakukan. Sementara hal yang memberatkan, jaksa menilai perbuatan Idrus tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement