REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat di Provinsi Maluku dituntut mampu melakukan evakuasi mandiri saat bencana gempa dan tsunami. Pasalnya, sejumlah skenario pemodelan yang dilakukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan waktu tiba tsunami di pantai sangat cepat, kurang dari lima menit setelah terjadi gempa.
"Golden time yang dimiliki untuk evakuasi sangat sempit, bahkan ada wilayah yang diperkirakan kurang dari dua menit tsunami telah datang," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat membuka Sekolah Lapang Geofisika di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (26/3).
Oleh karena itu, dia mengatakan, upaya satu-satunya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan evakuasi secara mandiri. Jadi, pihaknya meminta masyarakat untuk tidak menunggu peringatan dini dari BMKG maupun pemerintah daerah setempat lantaran hanya akan mengurangi golden time yang sudah sedemikian sempit.
Waktu dikeluarkannya peringatan dini sekitar lima menit. Sementara golden time yang dimiliki kurang dari lima menit. Apabila saat di pantai atau dekat laut masyarakat merasakan gempa kuat, masyarakat diminta segera saja lari menuju tempat-tempat yang tinggi. Ia mencontohkan masyarakat bisa mengungsi di perbukitan maupun gedung-gedung tinggi yang kokoh. "Sangat berisiko jika masyarakat yang bermukim di wilayah pantai hanya mengandalkan sistem peringatan dini tsunami," katanya.
Dwikorita menerangkan, di Maluku sedikitnya terdapat lima zona sumber gempa bumi tektonik yang dapat membangkitkan tsunami, yaitu zona subduksi lempeng Laut Maluku, zona subduksi utara Seram, zona sesar naik selatan Seram, zona subduksi Banda dan Weber Deep, dan zona Greben Aru. Sementara, penyebab tsunami di Maluku, tidak hanya dipicu oleh gempa bumi tektonik saja, tetapi juga erupsi gunung api dan longsoran bawah laut.
Provinsi Maluku, lanjut Dwikorita, memiliki sejarah cukup panjang dalam hal tsunami. Di wilayah Ambon saja sedikitnya telah terjadi lebih dari 50 kali tsunami dalam berbagai intensitas dan penyebabnya. Salah satu tsunami besar yang tercatat yakni yang terjadi pada tahun 1674 yang menewaskan 2.322 orang di Ambon dan Seram. Tinggi gelombang tsunami yang menerjang saat itu diperkirakan mencapai 80 meter.
"Apakah tsunami harus dibangkitkan oleh gempa kuat? Tidak. Tsunami yang terjadi di Selat Sunda beberapa waktu lalu, juga bisa terjadi di Maluku," katanya.
Begitu juga dengan tsunami yang terjadi di Palu merupakan tsunami cepat, yang datang lebih cepat dari peringatan dini yang diberikan. Untuk melakukan evakuasi mandiri, Dwikorita menambahkan, masyarakat harus terus berlatih dan memahami jalur-jalur evakuasi yang bisa dilalui saat terjadi tsunami. Dengan demikian diharapkan jumlah korban akibat tsunami yang mengancam dapat lebih diminimalkan.
Sementara itu, Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly menambahkan, untuk meminimalkan korban, BMKG terus menggalakkan sekolah lapang gempabumi (SLG). SLG itu bertujuan menguatkan peran BPBD, TNI/Polri dan pemangku kepentingan lainnya di daerah agar memahami informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami, agar dapat bersinergi secara efektif dengan BPBD dan BMKG untuk memberikan arahan evakuasi yang tepat kepada masyarakat.
"Sehingga saat terjadi gempa bumi yang berpotensi tsunami para pemangku kepentingan sudah mengerti apa yang harus dilakukan tanpa harus meraba-raba kembali," ujarnya.
SLG di Kabupaten Maluku Tengah mengambil tema 'Manggurabe Membangun Budaya Tanggap Gempabumi dan Tsunami' dan diikuti kurang lebih 70 peserta yang terdiri dari berbagai unsur antara lain BPBD, masyarakat, akademisi, aparat keamanan, dan jurnalis.
"Harapannya, melalui SLG tersebut seluruh peserta memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap potensi gempa dan tsunami yang berada di wilayahnya," ujarnya. Dengan begitu, kesiapsiagaan terhadap bencana gempabumi dan tsunami dapat lebih meningkat.