REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai ucapan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang akan menindak pelaku penyebaran hoaks dengan UU terorisme adalah pernyataan yang berbahaya.
"Pernyataan Menkopolhukam itu agak ngawur ya. Pernyataan berbahaya dari Menkopolhukam," ujar Isnur kepada Republika, Kamis (21/3).
Seharusnya, sambung Isnur, Wiranto membaca kembali definisi terorisme dalam UU yang dia buat sendiri. Karena jelas dalam definisi terorisme di UU Terorisme, hoaks bukan termasuk salah satunya. Definisi terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
"Jadi jangan melontarkan isu-isu yang membahayakan," tegasnya.
Bahkan, lanjut Isnur, pihak Kepolisian juga akan kebingungan bila pidana hoaks masuk UU Terorisme. "Karena kepolisian kan melakukan pidana berdasarkan delik yang terjadi. selama ini hoaks terjadi dijerat dengan UU ITE dan sekarang tiba-tiba masuk UU Terorisme. Saya tidak tahu logika seperti apa yang digunakan pak Wiranto," ucapnya.
Menurut Isnur apa yang disampaikan Wiranto adalah pengertian yang sangat sempit. Isnur menyatakan bahwa hoaks bukanlah aksi terorisme dan sudah mempunyai definisi tersendiri. Dampak psikologis tidak berarti hoaks adalah terorisme.
"Perlu diingat, terorisme adalah tindak pidana yang diatur secara ketat dan sempit serta terbatas di UU terorisme jelas aturannya. unsur-unsurnya jelas. Patut dia cabut kembali itu pernyataanya," tambahnya.
Sebelumnya, Wiranto menyatakan hoaks merupakan bagian dari tindakan terorisme dan karenanya pelaku bisa dijerat dengan UU Terorisme. Ia mendefinisikan terorisme sebagai suatu tindakan yang menimbulkan ketakutan di masyarakat.
Menurut Wiranto, hoaks yang mengancam masyarakat untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) sudah masih ke dalam pengertian terorisme. Ia menyebutkan, kabar bohong merupakan ancaman baru yang sebelumnya tidak begitu marak pada pelaksanaan pemilu dan keberadaannya dapat mengganggu psikologi masyarakat.