Kamis 21 Mar 2019 05:02 WIB

Wajah Dzuriyat NU dan Elegi Pendukung Asli Partai Ka'bah

Kasus yang menimpa Romahurmuziy pasti mengiris hati para pendukung asli PPP.

Kemeriahan kampanye PPP 1977 dengan bintangnya Rhoma Irama.
Foto: google.com
Kemeriahan kampanye PPP 1977 dengan bintangnya Rhoma Irama.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Semalam, ketika membuka laman media sosial, sahabat Fitriyan Zamzami, mengirimkan pesan yang membuat terenyuh. Ada sebuah alunan lagu pilu terasa. Layaknya bayangan ombak iramanya naik turun. Iramanya persis dengan lagu elegi yang menyayat hati. Meratap-ratap sesenggukan.

Fitriyan mengisahkan perasaan dan ekpresi ibundanya yang mantan aktivis Nahdlatul Ulama yang dulu --pada pemilu era Orde Baru berfusi dengan menjadi partai politik Islam berlambang Ka'bah, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia mengisahkan kepilauan itu begini:

 

Ibu sedang nonton televisi, kemarin. Sejurus kemudian, ia menengok cucu perempuan berusia lima tahunnya bertingkah. “Dulu Romi seumuran Rara ini waktu Ibu momong dia,” kata dia. Saya terhenyak, ini baru pertama kalinya beliau ceritakan.

Alkisah, sewaktu berkuliah di IAIN Sunan Kalijaga, ia bersama seorang mbak sepupu kerap pergi mengaji di rumah KH Tolchah Mansoer. Di sana, alih-alih membahas hadits, mereka memang lebih banyak bicara politik. Saat-saat itulah, ia kerap diminta menjaga Romi bila abangnya Fajrul Falakh absen. Apa yang Ibu rasakan saat Romi ditangkap KPK? Kesedihan dan kemarahan.

Apa hal? Bagi aktivis Muslim-Muslimah sejamannya, PPP adalah simbol perlawanan kepada rezim. Demikian juga bagi banyak sekali warga yang rela desanya tak dialiri listrik dan tak dibikinkan jalan pada masa Orde Baru demi PPP menang diberbagai tempat pemungutan suara (TPS) tempatan.

Wajar, bila menengok kondisi PPP sekarang (dengan ditangkapnya Romahurmuziy/  Romi), saya agaknya paham dengan kesedihan dan kemarahan sekaligus kegaluan mereka. Ini bila menengok sikap para pendukung aslinya itu. Bagi mereka, partai yang dulu diperjuangkan berdarah-darah kini memang jadi sebegini terasa nista. Trenyuh.

Apa yang ditulis Firtriyan langsung membuat bulu kuduk ini meremang. Saya jadi teringat ibu saya yang jadi aktivis Muslimat NU di masa-masa genting 1960-an. Beliau merasakan betul represi yang menimpa Nahdliyin ketika mendapat tekanan dari para kaum kiri alias komunis. Dia melihat sendiri adik-adik lelakinya setiap malam tak berani tidur di rumah sehingga memilih pergi belajar silat di rumah seorang kiai sepuh. Belajar ilmu kebal.

Lalu apa kaitanya dengan penangkapan Rommy? Saya yakin sekali beliau hatinya teriris-iris. Ibu saya pasti matanya berkaca juga. Apalagi bila kemudian diberi tahu bila Rommy ada kaitannya dengan 'darah biru NU', yakni dzuriyat para pendiri NU, yakni KH Wahab Chasbbulah.

Emosi soal tersebut pernah saya lihat langsung ketika ibu dan saya di Bandara Jogjakarta akan naik pesawat terbang ke Jakarta. Di antrean berbagai macam orang kala itu melintaslah sosok yang saya kenal, yakni mendiang Mas Fajrul Falakh (kakak Rommy).

Nah, tahu dia tengah melintas, saya pun langsung membisikan kalimat ke telinga ibu.''Punika wayahipun Romo Kiai Wahab Hasbullah bu (Itu cucunya Kiai Wahab Hasbullah bu).'' Mendengar nama Kiai Wahab di sebut mata ibunda saya langsung berbinar terang. Dia pun menganguk-angguk sembari terus menatap ke arah  Mas Falakh sampai bayangan dia menghilang dari kerumunan.''Beliau dosen UGM bu,'' tambah saya lagi kali ini pakai bahasa Indonesia.

Bagi keluarga kami NU, PPP, politik Islam selalu penuh emosi. Keterkaitan ketiga saling kait-mengkait sangat erat. Sebab, orang tua, terutama ayah adalah salah satu dari sekian banyak generasi awal Nahdliyin yang mampu sekolah tinggi di Jogjakarta tepat pada awal 1950-an.

''Kami generasi awal. Generasi awal kemerdekaan dari kaum Nahdliyin yang bisa bersekolah lumayan tinggi. Aku merasakan suasana Jogyakarta yang tiba-tiba lenggang tepat setelah ibu kota pindah ke Jakarta. Aku masih lihat Malioboro yang sepi. Dan aku melihat kawasan Bulak Sumur yang lengang dan penuh tanaman jambu monyet,'' kisah ayahku.

Khusus, bagi ayah jelas bisa punya kesempatan sekolah cukup lumayan sampai di Yogyakarta. Baginya ini rahmat kemerdekaan yang paling besar kepadanya. Untuk mendapatkannya pun sama sekali tak mudah karena harus lolos melalui seleksi penerima bea siswa yang sangat ketat.

"Aku beruntung, bisa ranking satu untuk dapat bea siswa dari sekian ratus anak-anak. Selanjutnya bisa sekolah sampai di Jogja,'' ungkap ayah setiap kali mengenangkan masa awal sekolahnya di tahun 1950." Kalau tidak mujur, saya pasti hanya lulus sekolah rakyat,'' katanya lagi.

Bagi keluarga Nahdliyin mampu bersekolah secara formal kala awal masa kemerdekaan adalah suatu hal yang langka. Mungkin saja orang tua mereka punya lahan sawah dan simpanan hasil panenan padi yang cukup. Tapi ini tak akan berati apa-apa kalau untuk bisa membiayai ongkos anak-anaknya bisa sekolah selepas sekolah dasar. Pendidikan seluruh kakak ayah akhirnya tetap seperti biasa, yakni terus menjalani situasi 'uzlah' dengan menuntut ilmu di berbagai pesantren baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Setelah lepas dari pesantren mereka jadi kiai dan mengasuh pondok pesantren. Sedangkan ayah saya mendapat kesempatan yang mendapat pendidikan formal dan bisa menjadi pegawai negeri. Sebuah hal yang tidak mungkin bisa dirasakan semasa era kolonial. Sebab, kala itu layaknya anggota keluarga lainnya, menjadi pegawai pemerintah berarti siap berkorban untuk mengganti agamanya. Hal yang sangat tidak mungkin dilakukan.

Maka sama dengan ibunda Fitriyan, perasaan ibu saya pun sama. Bagi saya pribadi, masih terkenang suasa 'ghirah' mendukung PPP di akhir 1970-an dan awal 1980-an. Orang tua saya memang mengerahkan masa dengan naik truk untuk membawa masa kampanye Golkar. Tapi ketika saat mencoblos sampai pensiun beliau mengaku tidak pernah mencoblos partai beringin tersebut.

Dan sikap itu baru saya tahu usai beliau pensiun. Padahal kala itu saya melihat dengan langsung betapa ayah selalu berkeliling rumah tetangga malam-malam menjelang pencoblosan. Ternyata dia mengunjung rumah tetangga bukannya untuk meminta mereka memilih Golkar karena ayah seorang pegawai negeri, tapi hanya sekedar terkesan memenuhi kewajiban karena beliau merasa tindak tanduknya diawasi oleh 'kaki tangan' aparat Orde Baru kala itu.

'Ya semacam 'takiyah' politik. Saya  malam-malam pencoblosan ke rumah tetangga hanya untuk memenuhi kewajiban 'sebagai anak negara'. Di setiap rumah aku hanya bilang pilih sesukamu,'' ungkap ayah kala itu. Dan benar saja perolehan suara di PPP di kampung saya itu tak pernah kalah dari Golkar.

Uniknya, sikap tidak memilih Golkar tiba-tiba kemudian tidak terjadi pada Pemilu 1999. Kala itu Golkar yang dipimpin Akbar Tandjung dikejar-kejar dan mau dibubarkan. Melihat itu, entah mengapa bapak dan ibu berbalik memilih Golkar. Katanya, karena merasa tak terima karena beringin akan rubuh diseruduk 'banteng'.

"Politik Golkar Akbar Tanjung, politik Islam maka harus dibela,'' tegas ayah.

Akhirnya, para pendukung 'asli PPP' yang tersisia, seperti ibunda Firtiyan dan ibu saya, pasti hari ini merasa sedih teramat dalam. Suasana hati seperti ini masuk akal. Memang pasti ada yang terasa ngilu di dadanya. Terasa duka bukan kepalang. Di matanya terbayang wajah sedih para duriyat Nahdlatul NU yang begitu dihormatinya.

Di sini kemudian saya terkenang pertemuan pada sebuah malam dengan Surya Dharma Ali di perumahan menteri Widya Chandra. Kala itu saya ceritakan: ''Kakek saya PPP lho Pak Surya?"

Menjawab pernyataan itu, Surya Dharma yang saat itu menjabat sebagai menteri agama dan ketua umum PPP, hanya menjawab pendek. "Okey. Sedang kamu sekarang mau mencoblos apa?'' Saat itu saya terdiam serta hanya garuk-garuk kepala meski tak gatal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement