Kamis 14 Mar 2019 09:43 WIB

Pemilih Perempuan Rentan Kehilangan Peran dalam Pemilu

Sebagian besar perempuan pemilih terkadang tidak memiliki kuasa atas dirinya.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Friska Yolanda
Simulasi Pemungutan Dan Penghitungan Suara Pemilu. Seorang warga menunjukan jari yang telah diberi tinta usai mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilihan Umum di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Ahad (3/3/2019).
Foto: Antara/Adiwinata Solihin
Simulasi Pemungutan Dan Penghitungan Suara Pemilu. Seorang warga menunjukan jari yang telah diberi tinta usai mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilihan Umum di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Ahad (3/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pemilih perempuan dinilai rentan kehilangan peran dalam Pemilu 2019. Partisipasi pemilih perempuan dalam pemilu dinilai masih sangat rendah.

Hal ini diungkapkan Ketua TP PKK Kota Malang, Widayati Sutiaji di Ruang Mahoni Hotel Savana Malang, Rabu (13/3). Widayati menyampaikan, indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah berada di rakyat. Rakyat harus dimanifestasikan keterlibatannya dalam pesta demokrasi (pemilu). 

Baca Juga

"Untuk itu, diperlukan partisipasi politik sejati seluruh rakyat, tak terkecuali kaum perempuan" ujar Widayati.

Saat ini, Widayati menilai, partisipasi pemilih perempuan dalam pemilu masih sangat rendah. Padahal mereka memiliki kesempatan dan peluang sama dari aspek regulasi, sistem pemilu dan data-data. Terlebih, keterlibatan mereka akan menjadi nilai demokrasi yang sehat di Indonesia.

Pemilih perempuan, lanjut Widayati, pada dasarnya sangat rentan untuk kehilangan perannya sebagai subjek dalam pemilihan umum. Hal ini karena sebagian besar perempuan pemilih terkadang tidak memiliki kuasa atas dirinya. 

Ketika masih lajang, perempuan berada dalam kuasa orang tuanya. Saat telah menikah, mereka berada dalam kuasa suaminya. Orang tua, terutama ayah dan suami yang memutuskan banyak hal terkait kehidupan perempuan. 

"Oleh karenanya saat menggunakan hak pilihnya, perempuan sangat rentan untuk mengalami pengaruh dari suami dan orangtuanya, sehingga mereka tidak dapat secara bebas dan mandiri menentukan pilihannya; ketidakmandirian perempuan dalam memilih menjadi semakin mutlak, ketika perempuan tidak berdaya secara politik karena rendahnya pengetahuan mereka terhadap hak-hak politiknya, tutur Widayati.

Menurut Widayati, diperlukan pendidikan politik bagi perempuan dan laki-laki dalam hal ini. Pendidikan membuat perempuan menyadari hak-hak politik yang dimilikinya. Kemudian juga menjadikan laki-laki terutama suami atau ayah mereka lebih menghargai dan menghormati hak-hak politik perempuan.

"Sehingga perempuan sebagai pemilih dapat sungguh-sungguh menjadi subjek," tambah dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement