Kamis 28 Feb 2019 21:49 WIB

Jabar Kerja Sama dengan Investor Inggris Olah Limbah Plastik

Limbah plastik ini rencananya akan diolah menjadi bahan bakar solar oleh Jabar.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Gita Amanda
Sejumlah tumpukan plastik berisi sampah berada di pinggir Jalan Raya Bogor - Jakarta, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah tumpukan plastik berisi sampah berada di pinggir Jalan Raya Bogor - Jakarta, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) menjajaki kerja sama dengan investor asal Inggris, Plastic Energy, dalam mengolah limbah plastik. Limbah plastik ini rencananya akan diolah menjadi bahan bakar solar atau waste to fuel.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menyambut baik kerja sama ini dan berkomitmen akan menjaga kelancaran bisnis dengan baik. Menurut mantan Walikota Bandung ini, semua pendanaan akan diserahkan kepada investor.

Baca Juga

"Semua dana dari swasta. Pemerintah hanya lahannya saja karena nanti sampahnya akan jadi duit. Jadi sama-sama untung," ujar Ridwan saat ditemui di Jakarta, Kamis (28/2).

Menurut gubernur yang akrab disapa Kang Emil ini, kota pertama yang menjadi lokasi pengolahan limbah plastik yaitu Bogor. Pemilihan Bogor sebagai lokasi pilot project sejalan dengan komitmen Pemerintah Kota Bogor yang mencanangkan diet kantong plastik.

Setidaknya ada empat limbah plastik yang akan dibangun menjadi pembangkit bahan bakar ramah lingkungan di sejumlah wilayah Jawa Barat. Setiap pembangkit bahan bakar memiliki nilai investasi 40 juta dolar AS atau sekitar Rp 580 miliar.

Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, mengaku masih memproses kerja sama dengan Plastic Energy ini. Walaupun sudah ada beberapa investor yang mengajukan kerja sama serupa, menurut Bima, pengolahan limbah plastik oleh Plastic Energy yang paling memungkinkan.

"Sebetulnya ada beberapa investor lain, yang sudah mengajukan seperti Jepang dan Korea. Tapi rasanya Inggris yang paling visible karena kebutuhan lahan tidak terlalu besar dan mereka cenderung lebih siap," kata Bima.

Menurut Bima, pengolahan limbah plastik menjadi solar oleh Plastic Energy membutuhkan lahan seluas satu hektare. Luas lahan yang digunakan ini jauh lebih kecil ketimbang yang diajukan investor lain.

Meski demikian, Bima belum dapat memastikan lokasi mana tepatnya pembangkit bahan bakar solar ini akan dioperasikan. "Kita hitung dulu lahannya ada dimana saja. Ada beberapa opsi dan masih dibicarakan dengan investornya," terang Bima.

Bima menjelaskan, saat ini produksi sampah di Bogor mencapai sekitar 600 ton per harinya. Dari keseluruhan total sampah itu, 13 persen diantaranya merupakan sampah plastik. Sampah plastik ini sebagian besar berasal dari pasar tradisional, rumah tangga dan pasar modern.

Menurut Bima, kerja sama dengan Plastic Energy ini merupakan salah satu langkah Pemerintah Kota Bogor dalam mengurangi penggunaan plastik. Sejak peluncuran diet plastik akhir tahun lalu, Bima mengatakan, sampah plastik di Bogor berkurang hingga 40 ton.

Perwakilan dari Plastic Energy, Kirk Evans, menjelaskan setiap pembangkit bahan bakar dapat mengolah sekitar 75 ton sampah plastik per hari. Evans menambahkan, jenis plastik yang diolah hanya sebatas plastik sekali pakai dan bernilai rendah seperti kantong belanjaan atau pembungkus makanan, sedangkan botol plastik tidak termasuk.

Menurut Evans, Plastic Energy mengembangkan teknologi modular untuk mengolah sampah plastik menjadi solar. Setiap satu ton sampah plastik dapat menghasilkan 860 liter produk yang terdiri dari 80 persen solar dan 20 persen nafta. Evans berharap bisa mulai membangun pembangkit bahan bakar tahun ini.

"Normalnya membutuhkan waktu 18 bulan untuk proses konstruksi. Pada dasarnya kami membutuhkan dukungan pemerintah lokal untuk mengumpulkan limbah plastik, disitu kuncinya," tutur Evans.

Selain di Jawa Barat, Evans mengatakan tidak menutup kemungkinan kerja sama pengolahan limbah plastik juga akan diperluas ke provinsi lainnya. Pasalnya, limbah plastik merupakan permasalahan di hampir banyak kota. Menurut Evans, Indonesia merupakan negara pertama dan menjadi prioritas Plastic Energy di kawasan Asia Tenggara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement