REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Besarnya anggaran untuk pembayaran utang yang terlalu besar dinilai membuat kemampuan negara menyejahterakan rakyat berkurang. Masalah ini diminta diperhatikan agar upaya menaikkan kesejahteraan bisa ditingkatkan.
Dradjad mengatakan melihat berbagai argumen pemerintah, memang tidak aneh jika utang pemerintah melonjak terus. Hal ini karena mereka hanya melihat rasio defisit APBN terhadap PDB dan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebagai rujukan. Utang pemerintah di sini meliputi utang domestik dan luar negeri.
Secara legal, kata Dradjad, pemakaian kedua rasio di atas memang benar. UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dalam Penjelasan Pasal 12 ayat 3 membatasi defisit APBN sebesar 3% PDB dan pinjaman pemerintah 60% PDB.
Merujuk pada UU di atas, pemerintah masih diperbolehkan menambah utang baru minimal Rp 445 triliun. Yaitu 3% dari PDB yang pada tahun 2018 sebesar Rp 14837,4 triliun. "Kenapa saya sebut minimal? Karena PDB akan naik,” kata Dradjad dalam keterangan tertulis kepada republika.co.id, Jumat (21/2)
Dengan tambahan utang baru, menurut Dradjad, posisi utang pemerintah terhadap PDB masih jauh dari 60%. Jadi kedua syarat dalam UU masih terpenuhi.
Masalahnya, lanjut dia, UU Keuangan Negara gagal melihat seberapa banyak pendapatan negara yang habis dimakan oleh pembayaran pokok dan bunga utang. "Porsi pembayaran utang yang terlalu besar jelas mengurangi secara drastis kemampuan negara menyejahterakan rakyat.” papar politikus PAN itu.
Dicontohkannya, pada APBN 2018, 34% dari pendapatan negara habis untuk membayar utang, baik pokok dan bunganya. Menurut Dradjad, bayar hutang pokoknya sebesar Rp 396 triliun seperti kata Menkeu Sri Mulyani. Bunganya sebesar Rp 247,6 triliun.
Sementara pendapatan negara dalam APBN 2018 sebesar Rp 1894,7 triliun. Itu anggarannya. "Untuk realisasinya, kita tunggu angka BPK. Tapi biasanya meleset tidak terlalu besar,” kata Dradjad.
Akibatnya, pembayaran utang memakan APBN jauh lebih besar dari belanja infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau dana desa. Dradjad menyebutnya sebagai opportunity costs dari pembayaran utang. "Itu harus dijadikan ukuran jika negara memang ingin menyejahterakan rakyat secara maksimal,” ungkapya.
Pemerintah, kata dia, tidak bisa ngeles dengan mengatakan bahwa mereka membayar utang jaman dulu. "Benar demikian, tapi Menkeu Sri Mulyani kan ikut andil dalam menambah utang sebagai Menkeu-nya Presiden SBY. Selain itu, pemerintahan Presiden Jokowi terlihat akan mewariskan utang yang jauh lebih besar nominalnya. Sehingga, opportunity costs di atas bisa membesar,” papar ekonom INDEF ini.
Dradjad, berharap Kemenkeu mau menjelaskan persoalan posisi utang. Menurut dia, posisi utang pemerintah per akhir 2017 adalah Rp 3938 triliun. Per Desember 2018 adalah Rp 4418,30 triliun. Jadi ada kenaikan Rp 480 triliun.
Rumusnya, posisi 2018 itu sama dengan posisi 2017 dikurangi pembayaran pokok utang 2018 ditambah utang baru 2018. Utang baru ini sama dengan besaran defisit APBN. "Defisit APBN 2018 itu Rp 326 triliun. Jadi seharusnya posisi utang pemerintah 2018 hanya sebesar Rp 3938 triliun - Rp 396 triliun + Rp 326 triliun = Rp 3868 triliun. Jadi posisi utang seharusnya turun. Ini karena utang baru lebih kecil dari pokok utang lama yang dilunasi,” papar Dradjad.
Jika posisi utang naik, berarti utang barunya lebih besar. Dengan angka di atas, utang baru 2018 adalah Rp 876 triliun. Angka Ini diperoleh dari Rp 480 triliun + Rp 396 triliun.
Jika benar demikian, berarti defisit APBN 2018 yang sebenarnya adalah Rp 876 triliun atau 5,9% dari PDB. "Bisa saja hitungan saya salah. Karena, saya tidak mempunyai data dan dokumen perjanjian utang selengkap Kemenkeu. Jadi saya berharap Kemenkeu bisa menjelaskannya,” kata Dradjad.