Kamis 14 Feb 2019 16:38 WIB

Dunia Pers Diminta Ikut Tangkal Hoaks dan Ujaran Kebencian

Media profesional harus bisa menjadi rumah penjernih atau clearing house.

Pena wartawan/ilustrasi
Pena wartawan/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyaknya berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian yang beredar di masyarakat melalui media sosial (medsos) tentunya menjadi tantangan terbesar bagi dunia pers dan media mainstream pada saat ini.  Sebagai sumber informasi pers menjadi tidak diminati masyarakat daripada medsos. Bahkan tidak jarang justru pers malah mengikuti arus narasi dan wacana yang berhembus dari medsos meski informasi di medsos tersebut belum terkonfirmasi kebenaran informasinya.

Karena itulah, dunia pers harus bisa berperan penting dalam melakukan edukasi kepada publik dengan berita yang akurat, terverifikasi kebenaran informasi yang beredar sehingga dapat mencerdaskan masyarakat. Media mainstream harus menjadi sumber informasi utama kepada masyarakat untuk membandingkan validitas informasi yang bertebaran di medsos.

Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, meminta kepada media mainstream atau dunia pers untuk bisa ikut berperan aktif dan ikut menangkal hoaks dan ujaran kebencian yang telah beredar di medsos ataupun di dunia nyata. Dunia pers jangan ikut terjebak dalam penyebaran informasi berita yang bersumber dari medsos yang tentunya belum terverifikasi kebenaran berintanya.  

“Di tengah maraknya banjir informasi yang memunculkan hoaks, dan ujaran kebencian, maka media mainstream dan media profesional harus bisa menjadi rumah penjernih atau clearing house sebagai tempat orang untuk bisa menemukan berita yang benar sesuai fakta. Media harus bisa menjadi bahan rujukan bagi masyarakat untuk mengecek kebenaran informasi yang mereka dapatkan,” ujar Yosep Adi Prasetyo di Jakarta, Rabu (13/2).

Diakuinya, saat ini dunia pers atau media mainstream sebagai sumber informasi seperti tidak diminati masyarakat sebagai sumber informasi dikarenakan ada beberapa faktor penyebab. Penyebab pertama ada banyak pemilik media menjadi Ketua ataupun Pimpinan Partai atau berafiliasi pada partai tertentu sehingga menjadikan media tersebut sebagai boncengan politik.

Lalu penyebab kedua dikarenakan  ada pergeseran pembaca, dimana yang membaca bahan-bahan cetakan hanya sisa dari Generasi Baby Boomers dan sebagian Generasi X. Lalu ke Generasi Y dan Generasi Z sudah tidak lagi membaca koran atau majalah, bahkan juga tidak menonton TV lagi.

“Mereka adalah kelompok milenial yang notabene adalah digital native yang mendapatkan informasi dari gadget yang ada dalam genggaman, berkomunikasi menggunakan medsos dan menonton hiburan/film dari youtube, Netflix dan lain-lain,” kata pria yang akrab disapa Stanley ini menjelaskan.

Faktor penyebab lainnya dikarenakan  industri media mengalami kegamangan dan kehilangan sumber-sumber peliputan. Hal ini dikarenakan para pejabat ataupun tokoh yang selama ini menjadi sumber informasi berita juga lebih suka membuat vlog dan selfie yang tentunya bisa langsung dikomunikasikan ke masyarakat melalui medsos.

“Para pejabat sekarang ini sudah tidak lagi berbicara dengan para pemimpin redaksi dan wartawan senior. Karena itulah wartawan kemudian membuat berita dari pernyataan pejabat ataupun tokoh yang telah diunggah di medsos,” ujar pria kelahiran Malang, 20 Juni 1959 ini.

Bahkan yang agak dia sayangkan yakni saat ini wartawan generasi muda memang lebih memilih cara mudah untuk membuat banyak berita yang cukup diambil dari medsos, sehingga mereka merasa tidak perlu untuk  turun ke lapangan.

“Padahal turun ke lapangan itu masih sangat penting untuk dapat melihat langsung peristiwa ataupun kejadian secara riil demi keakuratan dari berita tersebut. Ini yang terjadi dan pernah menjadi bahan penelitian Universitas Paramadina bekerja sama dengan Maverick,” katanya.

Untuk itu pria yang pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM ini berharap agar dunia pers untuk bisa mengembalikan kepercayaannya  di mata masyarakat sebagai sumber berita yang terpercaya seperti sebelum ada lahirnya medsos.

“Caranya ya dengan mengembalikan fungsi pers yang fokus pada kepentingan publik. Bisa membuat berita secara profesional, taat kepada Kode Etik Jurnalistik. Tidak menggunakan bahan informasi yang ada di medsos menjadi berita, kecuali memang ada kepentingan publik dan itupun harus melalui proses verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi,” ujarnya.

Dirinya juga berharap kepada media mainstream atau pers juga tidak ikut terbawa arus dalam pemberitaan yang viral melalui medsos yang belum tentu benar pemberitaaanya tersebut. “Pers harus memegang teguh dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, disiplin melakukan verifikasi terhadap setiap informasi, dan tak tergoda untuk memburu isu yang viral di medsos,” kata Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu.

Untuk itu dirinya juga meminta kepada masyarakat untuk dapat percaya kembali pada pemberitaan yang bersumber dari media mainstream tanpa  melalui medsos. Masyarakat diminta untuk tidak terlalu percaya dari sumber yang ada di medsos itu. Karena apa yang ada dan dimuat medsos sifatnya hanya sebagai informasi semata, yang tentunya berbeda dengan berita yang dimuat media mainstream.

Setiap mendapat informasi yang meragukan, misalnya meminta diviralkan, mengajak orang untuk menyerang orang lain, bernada hasutan dan kebencian baik yang disebarkan melalui medsos atau yang terjadi di dunia nyata sebaiknya dicek terlebih dahulu pada sumber-sumber yang kredibel atau sumber media mainstream.

“Masyarakat harus juga mencari informasi dari media mainstream. Dan tentunya  tugas dari pers atau media mainstream lah yang harus dapat meluruskan dan memberikan informasi yang valid kepada masyarakat terhadap berita yang beredar di medsos atau di dunia nyata tersebut. Ini agar masyarakat sendiri tidak mudah terpengaruh terhadap hoaks ataupun ujaran kebencian yang timbul dari medsos atau yang tersebar melalui kehidupan nyata tersebut,” katanya mengakhiri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement