Selasa 12 Feb 2019 01:55 WIB

Wacana Penempatan TNI di Jabatan Sipil Kemunduran Reformasi

Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil tidak sesuai Undang-Undang.

Rep: arif satrio nugroho/ Red: Dwi Murdaningsih
TNI di Papua (ilustrasi)
Foto: Antara/Anang Budiono
TNI di Papua (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menentang wacana revisi pasal 47 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang bakal memungkinkan penempatan pejabat tinggi dan pejabat menengah TNI di sektor sipil. Sebab, bila diwujudkan, wacana tersebut bertentangan dengan agenda reformasi.

"Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil berpotensi  mengembalikan fungsi kekaryaan TNI, yang dulu berasal dari doktrin dwifungsi, dan hal ini telah dihapus di awal reformasi dengan tujuan mengembalikan profesionalitas TNI sbg aparat pertahanan negara," kata Komisioner Komnas HAM, Muhammad Choirul Anam dalam keterangannya, Senin (11/2).

Choirul menjelasakan, rencana penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil tidak tepat dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI saat ini. Pasal tersebut  memberikan batasan pelibatan TNI pada sektor yang terkait pertahanan.

Kontras Kritisi Rencana Jabatan Sipil untuk Militer Aktif

Selama ini, kata Anam, amanat reformasi  telah dilaksanakan dengan  TNI aktif tidak lagi menduduki jabatan politik dan jabatan di institusi negara/ pemerintah. Maka itu, ia menegaskan, upaya mengembalikan TNI aktif kurang relevan dalam perkembangan sistem demokrasi yang telah berjalan.

"Bahkan dapat dinilai setback dalam upaya negara melaksanakan reformasi," ujar Anam menegaskan.

Anam juga mengungkapkan, upaya untuk melakukan revisi UU TNI guna memberikan ruang legal juga kurang tepat  dengan amanat reformasi TNI. Ia menyebut, upaya ini akan mengganggu pembangunan TNI yang profesional dan memastikan sistem negara demokratis berdasar hukum dan HAM.

Anam juga menambahkan, wacana ini bakal membuat masalah serius terkait penegakan hukum. Hal ini terkait dengan belum berubahnya peradilan militer.

"Susah dibayangkan seandainya TNI aktif tersebut dan ditempatkan pada jabatan sipil melakukan tindak pidana pada jabatan sipilnya. Pasti akan terjadi tarik menarik juridiksi antara peradilan militer dan umum, bahkan penerapan koneksitaspun akan mengalami masalah," ujar dia.

Wacana mengkaryakan TNI muncul dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Ia mewacanakan kebijakan perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) TNI masuk ke kementerian/lembaga negara. Wacana itu dianggap solusi atas banyaknya pejabat tinggi dan menengah di tubuh TNI yang belum mendapat jabatan alias non job.

Hadi pun mengusulkan revisi Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. UU TNI mengatur bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada sejumlah kementerian yang telah dicantumkan, di antaranya, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Lemhanas, Badan Narkotika Nasional, dan yang teranyar adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 

Revisi yang diwacanakan Hadi akan memungkinkan TNI  menduduki kursi birokrat dengan lingkup lebih luas sesuai dengan jumlah pati dan pamen yang nonjob. Choirul Anam pun menegaskan, wacana yang diajukan Hadi tak serta merta menyelesaikan maslaah.

"Jalan keluar atas masalah perwira yang non job ataupun lebih besar,  terkait reorganisasi dan restururasi TNI harus sesuai dengan amanat reformasi guna membangun tentara profesional dan tunduk pada mekanisme negara hukum yang demokratis," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement