REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono belum memutuskan mengizinkan atau tidak terlapor kasus dugaan pemerkosaan mahasiswi UGM untuk mengikuti wisuda pada Februari 2019.
"Kalau minta wisuda boleh, tapi kami melihat persyaratannya terpenuhi atau tidak, karena sekarang HS (terlapor kasus dugaan pemerkosaan) masih menjalani mandatori konseling," kata Panut, seusai memenuhi panggilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di Kantor ORI Perwakilan DIY, Yogyakarta, Selasa (8/1).
Menurut Panut, terlepas persoalan wisuda, secara prinsip terlapor kasus dugaan pemerkosaan mahasiswi UGM perlu menjalani rekomendasi dari Komite Etik UGM terlebih dahulu sampai tuntas. "Prinsipnya apa yang harus dilakukan dijalani sampai tuntas," kata dia.
Terkait rekomendasi penanganan kasus itu, menurut Panut, telah ia terima dari Komite Etik UGM pada 31 Desember 2018. Meski demikian, Panut mengaku masih mengkaji terlebih dahulu dan belum berkenan membeberkan poin dari rekomendasi tersebut.
"Ya Komite Etik telah selesai bekerja dan telah menyampaikan hasilnya pada pimpinan universitas pada tanggal 31 Desember 2018. Sekarang sedang kami kaji, sedang kami pelajari," kata dia. Panut mengatakan pihaknya yakin mampu menyelesaikan kasus dugaan pemerkosaan yang dialami mahasiswinya secara adil.
Sebelumnya, Pengacara HS, Tommy Susanto mengatakan kliennya berencana mengirim surat kepada Rektor UGM agar bisa mengikuti wisuda pada Februari 2019. Menurut Tommy, UGM tidak dapat menghambat masa depan HS yang telah menuntaskan kewajiban akademiknya sebagai mahasiswa UGM. Persoalan akademik dan kasus pidana, menurut dia, merupakan ranah yang berbeda. "Ini dua ranah yang berbeda, ranah akademik dan pidana," kata dia.
Sementara itu, meski telah menerima laporan terkait kasus itu pada 9 Desember dan telah memasuki tahap penyidikan, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta hingga saat ini belum menetapkan terlapor kasus dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi UGM saat KKN di Maluku pada 2017 sebagai tersangka.