Rabu 28 Nov 2018 14:50 WIB

Pengamat: Capres tak Fokus pada Program Perbaikan Ekonomi

Kedua capres tawarkan perbaikan ekonomi, tetapi belum konkret menyelesaikan masalah.

Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Suroto menilai sampai saat ini menjelang ajang pesta demokrasi Pilpres digelar, belum ada pasangan capres/cawapres fokus pada program konkret perbaikan ekonomi. Meskipun kedua pasangan capres/cawapres saat ini berupaya untuk menawarkan program perbaikan ekonomi, tetapi belum tampak ada program yang konkret menyelesaikan permasalahan secara mendasar.

"Semuanya masih jargonis. Dari kedua kubu yang ada hanya berpikir untuk memberikan solusi terhadap masalah yang simtomik. Permukaan seperti misalnya menciptakan lapangan kerja, mengendalikan harga, dan akan memberdayakan UMKM," kata pengamat dari Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) Suroto di Jakarta, Rabu (28/11).

Ia mencontohkan, masalah lapangan kerja, misalnya, kedua capres/cawapres tidak ada yang menyodorkan model kepemilikan saham untuk karyawan (employee share ownership program atau ESOP).  Padahal, ia mengatakan ESOP penting karena ada 48 juta pekerja formal yang jika diberi insentif kebijakan ini maka produktivitas, kesejahteraan, dan daya beli masyarakat akan meningkat secara otomatis. 

"Insentif yang diberikan ini akan otomatis memperbaiki daya beli masyarakat sekaligus dan juga menjadi pendorong munculnya kreativitas masyarakat. Selain akan mendorong bagi terciptanya pemerataan ekonomi dan stabilitas politik," katanya.

Menurut Suroto, Indonesia tertinggal dibanding dengan negara lain misalnya di Amerika Serikat di mana kepemilikkan kartu ESOP sudah berjalan sejak 1984. "Sekarang pemerintahan Trump bahkan mendorong model kepemilikan semacam ini dengan diberikan insentif pajak. Negara lain juga menerapkan ini, termasuk China. Kita sebagai negara demokrasi seharusnya menerapkan ini," katanya.

Ia menambahkan, pengendalian harga juga inflasi juga tidak bisa dilakukan hanya dengan jargon. Ia mengatakan instrumen kelembagaannya pun harus dibentuk bukan hanya menggunakan peraturan presiden.  

"Ini memang efektif dapat terkendali seperti semasa Pemerintahan Jokowi selama ini, tapi ini tidak menumbuhkan akselerasi karena sifatnya memaksa," katanya.

Sementara itu, mengenai slogan pemberdayaan UMKM sebaiknya tidak usah dislogankan tapi, kata dia, cukup dengan memberikan insentif melalui misalnya pembebasan pajak untuk koperasi dan atau pengurangan pajak untuk UMKM. 

"Konkretnya misalnya segera mencabut Pajak Final untuk UMKM dan juga memberikan insentif lain soal penegasan tata ruang dan penghapusan premanisme. Ini berdampak nasional dan akan mampu menciptakan reserve fund untuk UMKM sehingga akan mampu menambah modal kerja dan otomatis daya saing mereka akan meningkat," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement