Ahad 25 Nov 2018 18:57 WIB

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mendesak Disahkan

DPR didesak segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) membunyikan kentongan  dan pluit tanda bahaya di Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11). Tanda  bahaya diberikan atas darurat kekerasan seksual buntut belum selesainya  kasus pelecehan yang menimpa rekan mereka.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) membunyikan kentongan dan pluit tanda bahaya di Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11). Tanda bahaya diberikan atas darurat kekerasan seksual buntut belum selesainya kasus pelecehan yang menimpa rekan mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan mendesak parlemen dan pemerintah segera sekata untuk mengesahkan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal ini menyusul makin maraknya laporan kekerasan terhadap perempuan belakangan ini.

Direktur WCC Nurani Perempuan, Yefri Heriani, menyebutkan sejumlah kasus yang mencuat seperti kejadian yang menimpa mahasiswi UGM dan mantan guru honorer SMAN 7 Mataram Baiq Nuril Maknun, menjadikan pengesahan beleid tersebut mendesak dilakukan.

Hingga akhir Oktober 2018 untuk kasus yang telah masuk di WCC Nurani Perempuan dengan dukungan paralegal komunitas berjumlah 128 kasus. Hampir separuhnya adalah kasus kekerasan seksual. Belum lagi, kasus yang berasal dari komunitas yang didampingi WCC Nurani Perempuan juga hampir separoh dari jumlah ini.

"Kami hendak mengambarkan bahwa mendekatkan akses layanan pada masyarakat, dapat memberikan dukungan pada korban agar mendapat layanan," kata Yefri, Ahad (25/11).

Yefri mengatakan, dorongan untuk pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu terus dilakukan dan bahkan sampai menyurati Presiden Joko Widodo melalui DPRD Sumatera Barat. Langkah itu sudah dilakukannya pada bulan September 2018.

"Kita telah melakukan hearing bersama komisi V dan I di DPRD Sumatra Barat," katanya.

WCC Nurani Perempuan, kata dia, juga memastikan substansi di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak mengalami pergeseran. Yefri memandang bahwa subtansi yang diharapkan melalui beleid itu terkait dengan bagaimana upaya-upaya pencegahan yang dilakukan oleh negara.

"Bagaimana penangganan menjadi perhatian negara, yaitu penanganan dengan mempertimbangkan hak untuk atas pemulihan korban," kata Yefri.

Melalui pengesahan RUU tersebut, Yefri juga ingin memastikan bahwa aparat hukum atau masyarakat dan siapapun yang melakukan pengabaian terhadap perempuan korban kekerasan seksual khususnya, juga mendapatkan tindak pidana. Karena menurutnya, pengabaian kasus selalu menjadi catatan selama ini.

"Kan sekarang selalu menjadi catatan kita kasus-kasus kekerasan seksual, kasus kekerasan perempuan-kan abai dan lama prosesnnya. Pengabaian sudah berdampak pada banyak pengulangan terhadap kekerasan perempuan yang menjadi korban," kata Yefri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement