Kamis 15 Nov 2018 13:45 WIB

Pengamat: Perang Diksi Pilpres Jauhkan Solusi Masalah Bangsa

Pengamat meragukan efektivitas politik saling sindir terhadap citra kandidat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ratna Puspita
Pangi Syarwi Chaniago, Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting.
Foto: dok. Pribadi
Pangi Syarwi Chaniago, Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyayangkan perang diksi antarpeserta Pilpres 2019. Cara kampanye seperti itu justru menjauhkan kandidat capres-cawapres dari isu substansi.

Pangi menyebut saling sindir berujung aksi dan reaksi yang justru membuat bising ruang opini publik. Ia masih meragukan efektivitas politik saling sindir terhadap citra kandidat.

"Narasi kampanye pilpres 2019 masih jauh dari substansi, dangkal gagasan, berkutat pada perang diksi minim isi. Situasi ini menganggu kualitas demokrasi substansial akibat degalan politik murahan yang tak mutu," katanya dalam keterangan resmi kepada Republika.co.id, Kamis (14/11).

Ia menduga narasi kampanye dangkal sengaja menjebak para kandidat dalam perang kata-kata dan saling sindir sehingga menjauh dari substansi persoalan bangsa. Menurutnya, perang diksi bagian strategi mengalihkan perbincangan publik supaya tidak terlalu dalam menyentuh persoalan substantif.

"Karena ada pihak-pihak yang merasa khawatir bisa berpotensi merugikan kepentingan politiknya jika perdebatan politik mengarah pada hal-hal yang lebih substansi," ujarnya.

Akibatnya, rakyat digiring dengan isu murahan dan persoalan remeh-temeh. Padahal, konsekuensinya publik teralihkan perhatiannya dari persoalan nyata yang sedang dihadapi rakyat dalam kesehariannya.

"Strategi politik ini membuat publik tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang kandidat. Akhirnya alasan mereka menentukan pilihan hanya berdasarkan sentimen berkaitan suka atau tidak suka, bukan pada basis visi dan gagasan yang jelas," ucapnya.

Perang diksi di antaranya mencakup ujaran politik sontoloyo, politik kebohongan, politik gendoruwo, tampang Boyolali, budek/buta, tempe setipis ATM, atau impor ugal-ugalan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement