REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Perkembangan zaman, termasuk di dalamnya perkembangan teknologi informasi, membuat promosi budaya juga harus bisa mengimbangi tren yang ada. Untuk kasus silek atau silat Minangkabau misalnya, kini anak-anak muda tak lagi terbiasa berlatih silek di surau atau rumah-rumah gadang. Bila dulu murid yang sibuk mencari guru yang akan dimintakan ajaran, justru kini guru yang harus mencari murid-muridnya.
Kondisi ini disadari oleh Asro Sikumbang, pegiat silek Minang dari Minangkabau Silek Retreat Foundation. Asro bersama kawan-kawannya mencoba 'menjemput' anak-anak muda yang tertarik belajar silek dengan media-media digital yang sedang merak. Sejak setahun belakangan, Asro dan anak muda lainnya yang peduli terhadap silek Minang mulai gencar melakukan promosi silek melalui media sosial dan media digital, seperti film, fotografi, dan artikel.
"Karena anak muda sekarang tak bisa dipaksa-paksa belajar silek. Kesadaran itu harus muncul sendiri dari diri mereka. Nah tugas kami menumbuhkan kesadaran itu melalui ide promosi yang menarik di media digital," ujar Asro, Senin (12/11).
Tahun lalu misalnya, Minangkabau Silek Retreat Foundation mulai menggaungkan silek lanyah, sebuah atraksi silat di tengah kubangan lumpur. Ide ini berawal dari populernya tradisi pacu jawi yang berhasil menarik minat para wisatawan. Melalui silek lanyah, Asro mengundang para fotografer andal untuk ikut mengadabadikan gerakan-gerakan sinyal di tengah kubangan lumpur.
"Nah, akhirnya atraksi silek lanyah berhasil menarik komunitas fotografi. Dengan cara ini, silek akhirnya kembali dikenal lagi oleh anak-anak muda. Melalui media sosial, silek kembali dibicarakan," ujarnya.
Pendekatan promosi melalui media digital memang terus dilakukan oleh berbagai pegiat budaya. Hal ini dianggap menjadi jurus ampuh untuk bisa menarik hati generasi milenial dan generasi Z yang dianggap begitu dekat dengan komunikasi daring. Bagi Asro, mau tak mau pada akhirnya pengenalan budaya harus mengikuti cara kekinian, yakni dengan media digital.
"Ketika silek makin dikenal, kami juga memfasilitasi anak-anak muda yang ingin bergabung ke perguruan silek," ujar dia.
Penampilan tuo silek atau guru besar Silat Minangkabau pada acara Silek Arts Festival di Taman Budaya Sumatra Barat, Kota Padang, Jumat (7/9).
Nyaris sama dengan yang terjadi di Indonesia, pengenalan silat kepada anak-anak muda menjadi tantangan pengembangan silat di Negeri Jiran. Pesilat Malaysia mengaku harus berpikir keras untuk menarik kaum muda, alias 'Generasi Z', agar mau mempelajari gerakan-gerakan silat.
Seorang pegiat silat di Malaysia, Azman bin Daud, mengaku punya cara tersendiri untuk menarik anak-anak muda agar mau ikut belajar silat. Pesilat yang juga sering dipanggil Pakman Kampar itu menyebutkan bahwa untuk menarik anak muda, maka dirinya juga harus paham apa yang sedang 'ngetrend' di kalangan anak muda. Contohnya, penggunaan busana khas Minang dan Melayu dalam setiap penampilan silat di sana.
"Di bidang tradisi, kami coba kembangkan pelajaran silat ini untuk menekankan sejarah Melayu dulu. Dari segi bentuk penampilan pakai busana Melayu. Dengan bergaya ini, anak-anak muda lebih tertarik," ujar Pakman Kampar usai menghadiri Maestro Talk Silek Minang di Pagaruyung, Ahad (11/11).
Selain menarik minat anak muda dari segi penggunaan busana adat, Pakman juga tidak menarik biaya bagi peserta baru yang ingin bergabung dengan perguruan silat yang dibinanya. Dengan cara ini, lanjutnya, semakin banyak masyarakat Malaysia yang tertarik untuk ikut mempelajari silat.