Rabu 31 Oct 2018 19:05 WIB

Kebijakan Trump dan Kebangkitan Politik Muslim AS

Sejumlah kandidat Muslim unggul dalam pemilihan umum.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Pengunjuk rasa Amerika Serikat yang menentang kebijakan imigrasi Donald Trump justru kebanyakan berasal dari warga lokal. Mereka menolak keputusan yang melarang warga dari negara Muslim masuk AS.
Foto: AP/C M Guerrero
Pengunjuk rasa Amerika Serikat yang menentang kebijakan imigrasi Donald Trump justru kebanyakan berasal dari warga lokal. Mereka menolak keputusan yang melarang warga dari negara Muslim masuk AS.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kebencian terhadap Islam di Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini justru membawa Muslim AS masuk politik. Pengacara muslim dan kontributor New York Times, Wajahat Ali mengatakan masuknya Muslim ke politik kemungkinan didorong atas ketakutan mereka.

Kebijakan Presiden AS Donald Trump yang melarang masuknya warga negara-negara mayoritas Muslim, serta penutupan perbatasan dengan Mesiko dan semakin meningkatnya pengawasan terhadap imigran menjadi pendorong keterlibatan Muslim. Sebuah wilayah yang sebelumnya sangat jarang dimasuki oleh Muslim AS.

"Mayoritas kandidat Muslim tidak maju dengan agama mereka dengan lengan baju yang dilipat tapi justru dengan Partai Demokrat yang tanpa malu-malu mempromosikan wadah progresif," kata Ali, seperti dilansir dari Anadolu, Rabu (31/10).

Dalam kolomnya di New York Times, Ali mengutip laporan dari Associated Press bulan Juli lalu. Dalam laporan itu disebutkan kefanatikan dan kebencian yang diarahkan kepada Islam termasuk pernyataan dan ciutan Presiden AS Donald Trump telah memotivasi banyak Muslim untuk memasuki wilayah politik.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh kelompok hak sipil muslim AS, Emgage, lebih dari 100 Muslim maju untuk jabatan di daerah maupun pusat pada pemilihan sela tahun ini. Pada awal bulan Agustus lalu, seorang perempuan keturunan Palestina Rashida Tlaib memenangkan pemilihan primer partai Demokrat.

Baca juga, Trump Kecewakan Komunitas Muslim Amerika.

Ia mengalahkan, Dewan Presiden Detroit Brenda Jones. Tlaib juga tercatat sebagai perempuan Muslim pertama yang duduk di Kongres AS. Ali mengatakan, para politisi Muslim yang juga kaya dan veteran perang ini bukan orang-orang pertama yang menunjukan keyakinan atas agama bisa mendorong mereka berkomitmen terhadap keadilan sosial.

"Tapi pada saat yang sama ketika banyak  orang-orang munafik yang mengaku mewakili agama Kristen kanan dengan sangat mencolok," kata Ali. 

Seorang imigran dari Somalia, Ilhan Omar yang datang dari Kenya juga diprediksi akan memenangkan pemilu sela pada 6 November mendatang. Ia akan menggantikan Keith Ellison mewakili Minnesota. 

"Muslim di sini, mereka maju untuk jabatan politik dan sedikit dari mereka yang berhasil ke Washington, di mana mereka akan melakukan sesuatu yang banyak anggota Kongres gagal melakukan sejak waktu yang lama, yaitu; melayani Tuhan dengan melayani rakyat," kata Ali.

Salah satu kebijakan Trump yang cukup kontroversial yakni pembatasan imigran dari negara-negara Muslim. Kebijakan itu telah menuai protes karena dinilai bersifat diskriminatif. Hal itu memicu perlawanan dari kelompok-kelompok pro-Demokrasi dan Muslim di AS.

Dawud Walid, seorang Muslim Amerika, termasuk di antara yang menolak putusan itu. Ia sudah puluhan tahun tinggal di sana. Ada lebih dari 10 generasi keluarganya yang tinggal di Amerika. “Saya juga satu dari puluhan ribu veteran militer Amerika-Muslim,” kata dia dilansir di the Root, Rabu (27/6).

Mantan prajurit Muslim Amerika itu saat ini menjabat sebagai direktur eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam. Ia mengaku melayani dengan hormat Amerika Serikat bersama Angkatan Laut. Dia pernah mendapatkan dua medali Prestasi Angkatan Laut dan Korps Marinir, sementara ditempatkan di luar negeri.

“Seperti anggota layanan lainnya, saya bersumpah untuk menegakkan konstitusi kita,” ujar Walid.

Pengabdiannya itu semata-mata untuk mempertahankan konstitusi dan janji kebebasan beragama. Saat ini, Walid bergabung dengan beberapa warga Amerika-Muslim lainnya menggugat Presiden AS Donald Trump, beberapa hari setelah ia mengeluarkan perintah eksekutif larangan pertamanya terhadap Muslim pada Januari 2017. Ia menganggap kebijakan itu tidak konstitusional dan diskriminatif.

“Gugatan kita, seperti juga banyak lainnya yang diajukan terhadap larangan Muslim, adalah tentang kebebasan beragama untuk semua,” ujar dia.

Ia beranggapan larangan Trump yang ditujukan pada Muslim itu bertujuan mengecualikan Muslim dari Amerika Serikat. Ia meyakini, larangan itu tidak hanya didasarkan pada kebencian, tetapi jjuga ketidaktahuan akan sejarah dasar Amerika.

“Belum pernah ada Amerika tanpa Islam dan Muslim. Islam berakar di Amerika sejak awal mulanya,” kata Walid.

Ia mengisahkan Muslim adalah pribumi untuk kisah Amerika. Muslim Amerika telah membantu membangun bangsa dan menjadi bagian dari Amerika sejak sebelum negara itu menjadi sebuah bangsa.

Sekitar 30 persen orang Afrika yang diperbudak dibawa ke pantai itu selama perdagangan budak trans-Atlantik. Mereka adalah Muslim. Mereka dilarang mempraktikkan Islam oleh para majikan. Hari ini, jutaan Muslim Amerika adalah keturunan mereka yang dibawa ke benua itu dalam perbudakan berabad-abad lalu.

Meskipun demikian, media berita dan hiburan arus utama, selama bertahun-tahun, secara salah menggambarkan Muslim Amerika sebagai orang luar, meskipun ada Islam dan sejarah umat Islam di Amerika. Ia beranggapan, sekarang Trump mencoba mengeksploitasi kesalahpahaman itu dan memajukan ide palsu ketika mempromosikan larangan Muslim-nya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement