REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyatakan arahan dan instruksi dari pemerintah pusat kepada seluruh kepala daerah untuk menjaga integritasnya sudah sangat tegas. Terutama, agar para kepala daerah tidak sedikitpun melakukan tindakan korupsi.
Bahkan, instruksi tegas itu sudah dilakukan langsung oleh Presiden. Sayangnya, masih saja ada kepala daerah yang melakukan korupsi.
Tjahjo menceritakan, pernah suatu ketika Presiden mengumpulkan para gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia di Istana Negara. Presiden menyampaikan area-area yang rawan korupsi dan mengingatkan para kepala daerah untuk tidak korupsi.
"Presiden juga mengumpulkan gubernur, bupati, wali kota dari jam tiga (sore) sampai jam lima (sore) rapat di Istana. Area rawan korupsi yang disampaikan. Bubar jam lima, jam lima lewat 20 menit, satu kepala daerah kena OTT KPK di sebelah Istana Negara. Nah ini kan," ujar Tjahjo dalam pemaparannya pada Forum Merdeka Barat 9 di Aula Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (25/10).
Berdasarkan catatan Republika.co.id, kepala daerah yang dimaksud Tjahjo adalah mantan bupati Nganjuk Taufiqurahman yang ditangkap pada 25 Oktober 2017 lalu. Taufiq ditangkap karena menerima suap Rp 298 juta di hotel yang tak jauh dari Istana Negara. Di mana, sebelum ditangkap, Taufiq melakukan pertemuan bersama para kepala daerah lain untuk mendengarkan arahan presiden soal upaya pemberantasan korupsi.
Karena itu, lanjut Tjahjo, jika masih ada kepala daerah yang terkena OTT KPK, maka Tjahjo menegaskan itu kembali kepada integritas masing-masing pejabat. Karena, pengarahan langsung dari pemerintah pusat dan aturan untuk memperkat agar mereka tidak korupsi sudah dilakukan.
Tjahjo mengaku siap bertanggung jawab atas banyaknya perangkat daerah yang ditangkap oleh KPK. Menurutnya, sulit untuk mencari cara agar perangkat daerah tidak tertangkap lembaga antirasuah itu.
"Sulit itu. Aturannya sudah ada dan kalau dibilang saya harus tanggung jawab, saya siap tanggung jawab," jelasnya.
Teranyar, tim penindakan KPK kembali melakukan OTT terhadap kepala daerah. Kali ini, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra yang terciduk oleh tim penindakan KPK.
"Benar, hari ini ada giat di Cirebon. Ada unsur kepala daerah yang ikut diamankan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat dikonfirmasi, Rabu (24/10).
Baca juga: PBNU: Tak Ada Ulama Benarkan Tulis Kalimat Tauhid di Bendera
Baca juga: Sikap GP Ansor dan PBNU Atas Pembakaran Bendera
Menurut Agus, saat ini tim masih memerlukan pendalaman, sehingga ia masih belum bisa membeberkan kasus apa serta OTT total uang diduga suap yang diamankan dalam operasi senyap kali ini. "Masih diperlukan pendalaman. Besok (Kamis, (25/10)) akan dijelaskan dalam konpers di KPK," ujarnya.
Diketahui, Sunjaya adalah bupati Cirebon periode 2014-2019, bersama wakilnya Tasiya Soemadi. Mereka berdua diusung oleh PDIP pada pemilihan bupati Cirebon 2013.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febridiansyah mengatakan, sejak 2012 hingga 7 Oktober lalu, KPK mencatat sebanyak 34 kepala daerah terjerat OTT. Dengan ditangkapnya bupati Cirebon, berarti jumlahnya bertambah menjadi 37 jika ditambah dengan OTT terhadap Bupati Bekasi Neneng terkait kasus suap Meikarta.
Febri menuturkan, sebagian besar kepala daerah ini menerima suap terkait fee proyek. Namun terdapat kepala daerah yang menerima uang suap terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah dan pengurusan anggaran otonomi khusus. Apapun modus yang dilakukan, praktik korupsi yang marak dilakukan kepala daerah ini telah merusak tujuan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
"Praktik buruk korupsi dalam bentuk suap ini tentu merusak tujuan proses demokrasi lokal termasuk Pilkada serentak yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik," jelasnya.
Akibatnya, negara dirugikan berkali-kali ketika praktik suap kepala daerah terus terjadi. Selain proses kontestasi politik dengan biaya penyelenggaraan yang mahal, praktik suap memicu persaingan tidak sehat antar pelaku usaha di daerah. "Sebuah perusahaan mendapatkan proyek lebih karena kemampuan menyuap pejabat dibanding kompetensi mengerjakan proyek tersebut," ujarnya.
Akibat lain, suap akan dihitung sebagai "biaya" sehingga beresiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit dan lainnya yang dibeli. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat.
Lebih lanjut Febri menjelaskan, salah satu acara menekan angka korupsi adalah penguatan APIP secara struktural. Bukan hanya agar aparatur pengawas ini memahami bagaimana celah dan bentuk penyimpangan yg terjadi, tetapi juga revitalisasi posisi APIP yang selama ini nyaris tersandera dan tidak independen di bawah Kepala Daerah.
"Sulit membayangkan inspektorat yang diangkat dan diberhentikan Kepala Daerah kemudian dapat melakukan pengawasan terhadap atasannya tersebut hingga penjatugan sanksi. Karena itulah perbaikan regulasi seperti RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah menjadi kebutuhan untuk mencegah korupsi kepala daerah yang terus terjadi," terangnya.
Karena, sambung Febri, APIP yang lebih independen dapat memetakan siapa saja pemegang proyek yang berulang kali menjadi pemenang tender di daerah, melakukan review sejak awal proses penganggaran, pengadaan hingga memfasilitasi keluhan dari masyarakat tentang adanya penyimpangan di sektor tertentu. Sehingga, butuh perhatian lebih dari Presiden dan DPR untuk menyusun aturan setingkat UU ini.
Selain itu, jika dilihat dari proses awal sebelum Kepala Daerah menjabat, maka biaya politik yang tinggi dapat diidentifikasikan sebagai salah satu faktor pendorong korupsi kepala daerah. Dalam OTT para kepala daerah ini, terdapat beberapa pelaku yang mengumpulkan uang untuk tujuan pencalonan kembali, dan pengumpulan mantan tim sukses untuk "mengelola" proyek di daerah tersebut.
Akuntabilitas sumbangan dana kampanye menjadi salah satu faktor krusial yang perlu diperhatikan. Karena hubungan pelaku ekonomi dan politik yang tertutup rentan memicu persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang saat kepala daerah menjabat. Utang dana kampanye tersebut beresiko dibayar melalui alokasi proyek di daerah.
"Jika 2 hal di atas tidak diselesaikan, akan semakin sulit mengurai benang kusut korupsi politik di daerah," tegasnya.
Baca juga: PBNU: Pembakaran Bendera Upaya Muliakan Kalimat Tauhid
Baca juga: Putra Mahkota Saudi Akhirnya Tanggapi Pembunuhan Khashoggi