Kamis 25 Oct 2018 06:07 WIB

PGI Keberatan Sekolah Minggu Disetarakan dengan Pesantren

PGI akan menyampaikan keberatannya kepada Komisi VIII DPR.

Rep: Muhammad Ikhwanuddin/ Red: Reiny Dwinanda
Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom (tengah)
Foto: RepublikaTV/Fian Firatmaja
Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mengkritik dua pasal isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan yang juga mengatur pendidikan umat Kristen. Dalam waktu dekat, pihak PGI akan mencoba berdialog dengan DPR RI untuk membahas keberatannya.

“Kami sedang berupaya berdialog dengan Komisi VIII DPR,” kata Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (25/10).

Dalam keterangan resminya, PGI menyatakan perlu adanya pemahaman terhadap konsep keagamaan Kristen. Konsep pendidikan berbeda dengan pendidikan pesantren yang dimaksud dalam RUU.

Baca juga: RUU Pesantren Dapat Tingkatkan Kapasitas Pendidikan Santri

PGI menjelaskan dalam pendidikan keagamaan Kristen, ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja. Ada pula pendidikan informal melalui kegiatan pelayanan di gereja.

Dengan konsep seperti itu, PGI menganggap RUU yang mewajibkan jumlah minimal 15 peserta didik dan izin Kanwil Kementerian Agama dalam suatu lembaga pendidikan berbasis keagamaan perlu direvisi. PGI keberatan dengan hal tersebut mengingat konsep pendidikan di gereja menjadi bagian dari peribadatan gereja itu sendiri sehingga peraturan tidak sesuai untuk diterapkan.   

PGI melihat Sekolah Minggu dan Katekisasi seolah disetarakan dengan model pendidikan pesantren. Menurut PGI, pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia. Keduanya merupakan pendidikan informal dan masuk dalam kategori pelayanan anak-anak dan remaja.

Menurut PGI, tidak seharusnya RUU tersebut memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan informal di gereja. PGI keberatan dengan keharusan pemenuhan kuota minimal 15 peserta didik dan izin untuk menyelenggarakan Sekolah Minggu dan Katekisasi.

Memerhatikan detail tersebut, PGI memandang penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan cenderung membirokrasikan pendidikan informal, khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia. PGI mengkhawatirkan kecenderungan ini beralih pada model intervensi negara pada agama.

Di lain sisi, PGI mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan itu menjadi undang-undang, sejauh hanya mengatur kepentingan madrasah dan pesantren atau pendidikan formal untuk agama lainnya. Dalam kritikannya, PGI hanya menitikberatkan bahwa RUU tersebut tidak cocok jika diterapkan pada pola pendidikan di gereja.

PGI memahami perlunya undang-undang yang menjadi payung hukum bagi negara dalam memberikan perhatian dan dukungan anggaran kepada pesantren dan madrasah. PGI juga menyadari bahwa pesantren dan madrasah merupakan bagian dari pendidikan nasional telah memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa, namun pengembangannya kurang mendapat dukungan anggaran dari negara dan itu adalah bentuk ketidakadilan di dunia pendidikan. Terlebih, pendidikan formal lainnya mendapat dukungan penuh dari negara.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement