REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ekspansi pembukaan kebun sawit ke area-area di hutan Indonesia harus menjadi perhatian. Moratorium izin pembukaan lahan baru sawit dirasa menjadi salah satu langkah yang bisa dilakukan.
Pakar Konservasi Satwa Liar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Ali Imron, mengatakan ekspansi kebun sawit ke area-area hutan menimbulkan konflik luas. Bahkan, antara manusia dengan satwa liar.
Tidak sedikit kasus menyebabkan satwa liar yang tinggl di hutan seperti gajah atau harimau diburu dan dibunuh. Salah satunya terjadi di Sumatra. Untuk itu, Fakultas Kehutanan UGM sendiri telah memberikan solusi strategi jangka benah.
Selain itu, Fakultas Kehutanan UGM telah pula merumuskan beberapa terobosan penting setidaknya dalam tiga aspek. Mulai dari aspek pengelolaan, aspek kelembagaan dan aspek kebijakan.
Untuk pengelolaan, di antaranya diusulkan dengan penyelesaian tata batas kawasan hutan dan kuantifikasi dampak lingkungan serta sosial dari keberadaan kebun sawit di hutan tersebut.
Dari kelembagaan, mereka mengusulkan didorongnya Indonesian Sustainable Palm Oil System sebagai standar pengelolaan kelapa sawit di Indonesia. Itu tidak cuma sesaat tapi diminta berkelanjutan.
Selain itu, mereka mendorong skema-skema Public-Private Partnership antara perusahaan-perusahaan kelapa sawit dengan pemerintah dan masyarakat. Untuk kebijakan mereka mendorong pembenahan tata ruang yang efektif.
"Terutama, terkait penentuan lokasi dan alokasi izin, persyaratan izin dan kewenangan pemberi izin," kata Ali, beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, yang tidak kalah penting dilakukan yaitu merevisi berbagai kebijakan kehutanan terkait. Termasuk, lanjut Ali, yang saat ini masih tumpang tindih satu sama lain.
Pakar sistem pengelolaan sumber daya hutan UGM, Ari Susanti mengingatkan, pengelolaan kebun monokultur secara proporsional perlu dilakukan. Sebab, keberadaannya tidak hanya memengaruhi habitat flora dan fauna, tapi jumlah keanekaragaman hayati.
Selain itu, perubahan mosaik landskap turut mempengaruhi fungsi hidrologis hutan yang menyebabkan berkurangnya kemampuan menyimpan air saat musim hujan. Sehingga, saat kemarau, terjadi kekeringan lahan dan rawan kebakaran hutan dan lahan.
"Perubahan penutupan lahan dari hutan alam menjadi kebun kelapa sawit monokultur juga berpotensi menjadi kontributor emisi gas rumah kaca nasional, terutama bila lahan hutan yang dikonversi melibatkan hutan rawa gambut," ujar Ari.
Berbagai rekomendasi pengelolaan perkebunan sawit monokultur di hutan itu akan segera disampaikan Fakultas Kehutanan UGM ke Kementerian LHK. Harapannya, bisa menjadi bahan pertimbangan dalam proses revisi dan pembuatan kebijakan.