Jumat 12 Oct 2018 02:50 WIB

Pengamat: Pendidikan Anti Korupsi Hanya Sekadar Seremoni

Daftar kepala daerah di wilayah Jawa Timur yang terjerat korupsi semakin panjang.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Bupati Malang, Rendra Kresna memberikan keterangan pers seusai penggeledahan ruang kerja dan rumah dinasnya di Pendopo Kabupaten Malang, Senin malam (8/10).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Bupati Malang, Rendra Kresna memberikan keterangan pers seusai penggeledahan ruang kerja dan rumah dinasnya di Pendopo Kabupaten Malang, Senin malam (8/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Daftar kepala daerah di wilayah Jawa Timur yang terjerat kasus korupsi semakin panjang. Bupati Malang Rendra Kresna, menjadi kepala daerah ke 12 di wilayah Jawa Timur yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam dua tahun terakhir.

Ahli Hukum Pidana Supardji Ahmad, menilai fenomena ini sungguh sangat menyedihkan dan membuktikan bahwa korupsi masih subur di Indonesia. Gerakan  pemberantasan korupsi pada pemerintahan sekarang pun ternyata tidak diikuti secara sungguh-sungguh oleh kepala daerah dan penyelenggara negara yang lain.

"Pendidikan anti korupsi masih di atas kertas dan di ruang diskusi. Tetapi ketika ada kesempatan bahkan mencari kesempatan untuk melakukan korupsi. Maka kejahatan itu terjadilah," kata dia saat dikonfirmasi, Kamis (11/10).

Untuk kasus korupsi kepala daerah di Jatim menandakan bahwa ternyata komitmen dan gerakan anti korupsi belum membawa hasil yang signifikan. "Pakta integritas dan pendidikan anti korupsi bagi kader tidak lebih dari sekadar seremoni dan orkestra simponi untuk menghibur publik. Setelah  ditandatangani dan nyanyi yel-yel anti korupsi. Perilaku korupsi tetap menjalar dalam jiwanya dengan ilmu hati-hati supaya selamat dan tidak "apes" ditangkap aparat penegak hukum," tegasnya.

Hal senada diungkapkan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menerangkan rumus utama terjadinya korupsi adalah adanya kekuasaan yang tidak terkontrol, bahkan institusi pengontrol menjadi bagian dari korupsi itu sendiri. Karena korupsi selalu berkelindan dengan kekuasaan.

"Fenomena itulah yang terjadi pada korupsi kepala daerah lintas partai, tidak pandang kepala daerah itu berasal daei partai apa. Karena lahir dari sistem politik yang sama maka akan menghasikan kepala daerah yang punya kecenderungan yang sama," jelasnya.

Kecenderungan itu, sambung dia, adalah semangat untuk mencari peluang bisnis dari kekuasaan yang berada ditangannya dalam rangka mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan untuk sampai menduduki kekuasaan kepala daerah itu. Sehingga, pendidikan apapun termasuk pendidikan korupsi yang dilakukan partai sepanjang sistem politik yang koruptif tidak diperbaiki, tetap saja akan melahirkan kepala daerah yang koruptif.

"Meski secara moral seorang itu punya karakter kuat terkadang sistem akan menjebaknya untuk korupsi sebagai contoh kepala daerah yang "diperas" DPRD dalam pengesahan APBD banyak memakan korban kepala daerah yang korupsi," tuturnya.

Ia menambahkan, meski sekarang negara telah menanggung biaya kampanye, tetap tidak mengurangi biaya yang harus dikeluarkan para calon kepala daerah terutama biaya perahu, saksi dan tim sukses yang selalu sukses meskipun calonnya kalah.

"Jadi memang membenahi sisteem itu harus komprehensif termasuk budaya politik masyarakatnya," ujarnya.

Sementara pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan,  masih banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi adalah sebuah cerita lama. Menurutnya, KPK tak benar bekerja sehingga masih banyak pihak yang tidak jera untuk melakukan tindak pidana korupsi.

"Ini cerita lama. Kalau KPK benar cara kerjanya, tidak bakal berani orang korupsi. Pencegahan KPK tidak jalan. Sistem kita yang membuat kepala daerah banyak terjebak kasus korupsi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement