Rabu 10 Oct 2018 14:43 WIB

Alasan Evakuasi Korban Gempa-Tsunami Sulteng Disetop Besok

Mayoritas korban meninggal terdapat di wilayah Petobo, Balaroa, dan Jono Oge.

Rep: Dedy Darmawan Nasution, Antara/ Red: Andri Saubani
Warga melihat mobil yang tertimbun lumpur akibat pencairan (likuifaksi) tanah yang terjadi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warga melihat mobil yang tertimbun lumpur akibat pencairan (likuifaksi) tanah yang terjadi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Evakuasi korban gempa bumi-tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) akan dihentikan pada Kamis (11/10) besok. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, penghentian evakuasi tersebut berdasarkan rapat dengan pemerintah daerah setempat beserta para tokoh masyarakat.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dilihat dari korban meninggal dunia dievakuasi, rata-rata kondisi jasad sudah melepuh dan tidak bisa dikenali. Disatu sisi, jasad korban yang sudah cukup lama tertimbun turut berisiko menimbulkan penyakit. 

Mayoritas korban meninggal terdapat di wilayah Petobo, Balaroa, dan Jono Oge. Ketiga wilayah tersebut merupakan kawasan di mana terjadi likufaksi sehingga rumah-rumah ambles ke dalam lumpur.

“Penghentian evakuasi secara resmi dilakukan pada 11 Oktober 2018 di seluruh area. Namun, jika masyarakat masih ingin tetap mencari anggota keluarga dipersilakan tentu akan banyak relawan yang akan membantu,” kata Sutopo dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat BNPB, Jakarta Timur, Selasa (9/10). 

Sutopo menjelaskan, keputusan penghentian evakuasi tersebut berdasarkan saran dan masukan dari kepala daerah setempat. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat di wilayah terdampak juga menyampaikan agar evakuasi tidak dilanjutkan.

Di wilayah terdampak likuifaksi, Jono Oge, misalnya, lumpur bahkan masih basah sementara hingga belum ada escavator amphibi untuk melakukan evakuasi. Sebagai gantinya, daerah tersebut akan dijadikan sebagai lokasi penguburan massal. Kawasan di mana terjadi likuifaksi akan dijadikan ruang terbuka hijau menjadi Memory Park dan akan dibangun monumen di lokasi tersebut.

“Masyarakat juga sudah trauma untuk tinggal di lokasi tersebut sehingga meminta untuk dapat dibangun pemukiman baru,” katanya.

Ia menegaskan, ketika ada korban meninggal yang ditemukan pascapenghentian evakuasi, korban akan tetap didata oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Korban tersebut juga akan tetap mendapatkan santunan dari pemerintah pusat. Seluruh keputusan tersebut, lanjut Sutopo telah diputuskan dalam rapat koordinasi Senin (8/10) kemarin.

Penghentian evakuasi korban bertepatan dengan berakhirnya masa tanggap darurat tahap pertama. Namun, kendati evakuasi dihentikan pada Kamis esok, bukan berarti masa tanggap darurat ikut berakhir. 

Salah satu relawan tim penolong dari Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Tadulako Palu, Anca mengakui sulitnya medan dalam proses evakuasi korban terdampak likuifaksi. Untuk membantu evakuasi jenazah, Mapala Untad menurunkan 27 anggotanya bergabung bersama Badan SAR Nasional dan relawan lainnya.

"Masih banyak jenazah yang terjebak di dalam lumpur tapi medannya sulit sekali untuk mengevakuasi mereka," kata Anca, akhir pekan lalu.

Menurut Anca, jika melihat posisi jenazah di lokasi, hampir dipastikan mereka sedang berusaha menyelamatkan diri saat gempa dan berkumpul dalam satu tempat. Kebanyakan janazah ditemukan di luar rumah.

"Mereka berkumpul satu tempat tetapi tidak selamat," katanya.

Dari posisi jenazah yang sudah tertimbun, sebelum lumpur menimbun mereka para korban terjebak di belakang tembok rumah. Tim pencari dan penolong korban gempa yang disebar ke beberapa titik, tidak didukung dengan alat yang memadai.

"Di lokasi penemuan hari ini banyak jenazah tetapi tidak bisa dievakuasi seluruhnya karena medan yang berat," katanya.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada Jumat pekan lalu menambah alat berat yang sangat diperlukan untuk melakukan proses evakuasi, pembersihan, dan pencarian korban. Dalam masa tanggap darurat, Kementerian PUPR fokus untuk membantu evakuasi korban, penyediaan prasarana sarana air bersih dan sanitasi, serta pembersihan kota dari puing-puing dan kemudahan konektivitas.

"Alat berat kami sudah masuk yakni enam unit di Petobo dan empat unit di Balaroa termasuk 1 ekskavator dengan stone breaker dan akan kita tambah lagi mengingat luasnya wilayah terdampak," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Selain itu juga sudah digunakan empat ekskavator, satu dump truck, dan satu loader di Balaroa. Di Petobo telah ditempatkan tujuh ekskavator, satu backhoe loader, satu dump truck. Tambahan dua excavator dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang di Makassar juga sudah tiba di Kota Palu.

photo
Kronologi Gempa-Tsunami Palu dan Donggala

Baca juga:

Dugaan jumlah korban tertimbun longsor

Hingga penanganan pascabencana hari kesebelas, atau Selasa (9/10), BNPB memperkirakan ada sekitar lima ribu orang di Kecamatan Petobo dan Balaroa yang hilang. Dua kecamatan tersebut mengalami likuefaksi sehingga banyak rumah yang ambles ke dalam lumpur.

“Di Petobo dan Balaroa ada sekitar lima ribu belum ditemukan. Angka ini masih dugaan dan belum pasti,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Selasa (9/10) sore.

Sutopo mengatakan, angka tersebut berasal dari laporan dari kepala desa di Balaroa dan Petobo. Meski demikian, pihaknya masih perlu melakukan verifikasi data dan konfirmasi data korban untuk menentukan angka yang valid. Sutopo mengakui, sangat sulit bagi tim dilapangan untuk mendapatkan angka yang pasti.

Sebab, kerusakan yang ditimbulkan sangat parah. Rumah-rumah warga tertimbun lumpur yang mengering sedalam tiga meter. Sedangkan bangunan rumah yang menumpuk dan terangkat ketinggiannya mencapai dua meter. Itu semua disebabkan oleh proses likuefaksi dimana tanah berubah menjadi lumpur pasca diguncang gempa. Alhasil, bangunan diatasnya terseret bahkan ambles.

“Sejauh mata memandang tanah itu rata. Padahal didalamnya ada rumah-rumah yang tertimbun. Kita terus bekerja untuk proses evakuasi,” kata Sutopo.

Kondisi itu membuat Tim SAR Gabungan memfokuskan evakuasi di area pemukiman di perkotaan. Sebab, tidak menutup kemungkinan masih ada korban yang tertimpa reruntuhan bangunan. Meskipun kemungkinan besar korban yang masih tertimpa sudah meninggal dunia.

Mengutip data BNPB, luas area likuefaksi di wilayah Balaroa mencapai 47,8 hektare. Diperkirakan ada 1.471 unit bangunan rusak. Sejauh ini lima unit alat berat dikerahkan untuk membantu evakuasi.

Sedangkan di Petobo, luas area terdampak sekitar 180 ha. Sedikitnya 2.050 unit bangunan rusak. Tim mengerahkan tujuh unit alat berat untuk mencari korban. 

Selain di Balaroa dan Petobo, kawasan Jono Oge di Kabupaten Sigi juga mengalami likuifaksi. Sutopo mengatakan luas area yang mengalami likuifaksi mencapai 202 hektare. Namun, hingga saat ini alat berat tidak bisa maksimal digunakan karena lumpur yang masih basah.

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mengatakan pemerintah telah menyiapkan lahan seluas 320 hektare (ha) untuk merelokasi warga yang tempat tinggalnya hilang akibat likuifaksi. Warga korban likuifkasi ini bermukim di Petobo dan Balaroa, Sulawesi Tengah (Sulteng).

"Pemerintah sudah menyiapkan 320 ha kurang lebih jaraknya 20 km dari lokasi awal," kata Menko PMK di Jakarta, Kamis (4/10).

Untuk proses relokasi, Puan mengatakan, pemerintah meminta pemda setempat untuk mengimbau atau mengajak masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut agar mau direlokasi karena desa mereka tidak aman lagi untuk ditempati.

[video] Gempa Palu, Warga Petobo: Lumpur Berputar Keluar dari Tanah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement