REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fuji E Permana
Sudah delapan tahun memiliki pengalaman mengevakuasi jenazah korban bencana alam tak membuat Maizar Helmi (26 tahun) terbiasa. Tetap ada saat perasaan seorang evakuator terharu bercampur sedih. Terutama saat keluarga korban bertanya kepada evakuator tentang nasib anggota keluarganya yang sedang dicari.
"Yang paling haru pas ada keluarga korban tanya-tanya, Mas sudah ditemukan belum anggota keluarga kami," kata Maizar yang menjadi anggota tim Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa di Palu, Sabtu (6/10).
Maizar bersama sembilan orang rekannya kini bertugas di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Sudah enam hari mereka mengevakuasi korban gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami. Seratus lebih jenazah sudah dievakuasi dari lokasi bencana ke rumah sakit dan ke kuburan massal.
Dia sudah terbiasa mengevakuasi jenazah yang masih utuh maupun yang sudah membusuk. Bahkan tidak jarang mengevakuasi jenazah yang sudah keluar cairan dan digerogoti belatung. Pemandangan seperti ini sudah biasa dialami, sehingga bisa tetap kuat menghadapinya.
Meski demikian, perasaan haru dan sedih tetap bisa menyentuh perasaan seorang evakuator. Maizar menceritakan, pernah suatu ketika ada keluarga korban yang menunggu tim DMC mengevakuasi jenazah. Kemudian tim berhasil menemukan jenazah korban bencana dan segera membungkusnya dengan kantung jenazah.
"Seorang warga kemudian mendekat terus berkata, 'Mas boleh dibuka gak kantong mayatnya, keluarga saya belum ketemu'," ujar Maizar sambil menengadah ke atas seperti sedang mengenang pengalamannya.
Dia mengaku saat ditanya seperti itu oleh pihak keluarga korban, perasaan tersentuh. Rasa haru dan sedih mulai merayap ke hati. Tersimpan perasaan duka cita di balik masker yang menutupi wajah para evakuator jenazah.
Apa yang dirasakan Maizar juga dirasakan Narwan (30) yang juga tergabung dengan tim DMC Dompet Dhuafa sejak 2010. Dia mengungkapkan, jika bertemu keluarga korban yang bertanya-tanya tentang keluarganya yang sedang dicari evakuator, turut merasa sedih dan terharu.
Meski demikian, perasaan haru dan sedih tidak ditampilkan mereka. Perasaan tersebut hanya disimpan dalam hati, kemudian menjadikanya sebagai motivasi agar lebih semangat membantu mencari korban. Menurut mereka, mungkin orang lain melihat evakuator jenazah sebagai pribadi yang tegar, tetapi sebenarnya tetap dihinggapi rasa haru dan sedih.
Maizar dan Narwan tidak hanya mengevakuasi korban bencana yang telah meninggal. Mereka juga turut mensholatkan jenazah. Selama bertugas di Sulawesi Tengah, mereka melaksanakan shalat jenazah di kuburan massal.