REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- "Seperti kota mati". Begitu julukan banyak orang terhadap Kota Palu, pascagempa 7,4 Skala Richter menggoyang ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah itu, Jumat (28/9) petang. Kota yang sebelumnya penuh geliat di berbagai bidang, seketika lumpuh total saat bumi berguncang, tanah terbelah, dan air laut menggunung bergerak ke darat menyapu seluruh yang berdiri di hadapannya.
Pada Jumat (28/9) malam pekan lalu itulah Kota Palu terdaftar dalam sejarah sebagai kota yang pernah diterjang bencana besar. Bencana itu menelan ribuan jiwa manusia dengan tingkat kerusakan infrastruktur paling banyak.
Saat itulah Kota Palu dijuluki sebagai kota mati. Kota gelap gulita, mencekam dan beraroma mistis. Ribuan jenazah tergeletak usai digulung air. Ada yang terjepit di reruntuhan gedung, tertimbun lumpur bahkan terpanggang. Hampir seluruh infrastruktur dan ornamen kota yang dibangun puluhan tahun hancur seketika.
Pendar penerangan listrik baru mulai ada Rabu (3/10) malam. Jaringan listrik ke jalan raya dan sebagian fasilitas umum serta perbelanjaan mulai terpasang dan menerangi jalan-jalan raya strategis.
Direktur PLN Regional Sulawesi Syamsul Huda mengatakan kondisi kelistrikan di Kota Palu pada empat dan lima hari pascagempa semakin membaik. Itu setelah berhasil memulihkan 30 persen kelistrikan sistem Palu tersebut.
Sebagian ruas Jalan Basuki Rahmat sebagai jalan nasional yang terhubung hingga Bandara Mutiara Sis Aljufri, pada Rabu malam, mulai berbinar. Sejumlah papan reklame yang masih berdiri kokoh membentang jalan maupun yang berdiri di tepi jalan kembali terang hingga menyinari bangunan sekitarnya.