Sabtu 15 Sep 2018 17:37 WIB

Belum Terima Putusan MA, KPU Batalkan Rapat Pleno

MA membatalkan Peraturan KPU yang melarang eks napi korupsi nyaleg.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Anggota KPU, Viryan  dalam acara rapat pleno terbuka  Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap untuk pemilu 2019 di  Kantor KPU, Jakarta, Rabu (9/5).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Anggota KPU, Viryan dalam acara rapat pleno terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap untuk pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (9/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisioner KPU Viryan Azis mengatakan, KPU sampai saat ini belum menerima dokumen resmi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). Sehingga, lanjut Viryan, pembahasan dalam rapat pleno terkait hal tersebut urung dilakukan.

Sedianya, rapat pleno KPU digelar pada Sabtu (15/9) atau Ahad (16/9) di mana akan membahas berbagai hal. Salah satunya opsi perubahan Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif.

"Sampai hari ini kan baru berita. KPU RI belum mendapatkan, kami juga sedang aktif mencari dokumen putusan dari MA tersebut," ujar Viryan di Gedung KPU RI, Jakarta, Sabtu (15/9).

Viryan melanjutkan, pihak KPU akan menunggu salinan tersebut agar bisa merevisi PKPU. Sejauh ini sambung Viryan, pihak KPU RI baru mendapatkan informasi dari pemberitaan yang beredar dan hal tersebut tak bisa dijadikan dasar untuk melakukan rapat pleno.

"Dan tidak bisa kemudian dengan dasar pemberitaan tidak ada dokumennya kemudian KPU merevisi PKPU-nya. Kami tidak mungkin dan tidak boleh, kami masih menunggu itu," ucapnya.

Ia menambahkan, pihak KPU RI berharap dokumen resmi dari MA bisa diterima segera dan dibahas dengan prinsip kehati-hatian. "Kami sudah meminta kepada  jajaran Sekjen untuk segera mencari atau mendapatkan dokumen tersebut agar kami bahas di rapat pleno. Insyallah kalau tidak malam ini, besok kami akan rapat untuk membahas hal tersebut," tuturnya.

"Nanti akan kami bahas, penetapan DCT (daftar caleg tetap) itu pada tanggal 20 September. Waktu kami sangat singkat, prinsipnya KPU menghormati dan akan menindaklanjuti," tambah Viryan.

Sebelumnya, Juru Bicara MA, Suhadi, membenarkan jika pihaknya telah memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada Undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017)," ujar Suhadi ketika dihubungi wartawan, Jumat (14/9).

Dengan demikian, maka aturan tentang pendaftaran caleg dikembalikan sesuai dengan yang ada dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam aturan UU itu, larangan eks koruptor menjadi caleg tidak disebutkan secara eksplisit.

Suhadi kemudian menjelaskan tentang pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan MA. Pertama, MA memandang jika kedua PKPU bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Selain itu, mantan narapidana kasus korupsi boleh mendaftar sebagai caleg asal sesuai ketentuan undang-undang pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tegasnya.

Secara rinci, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tertuang dalam pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

Pasal itu berbunyi 'dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (partai politik) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

Sementara itu, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPD tertuang dalam pasal 60 huruf (j) PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Pasal tersebut menyatakan, 'perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

Sejak Juli lalu, kedua aturan ini sama-sama digugat oleh sejumlah pihak melalui permohonan uji materi ke MA. Mayoritas penggugat adalah para eks koruptor yang berniat kembali maju sebagai calon anggota dewan dan merasa dirugikan dengan adanya kedua aturan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement