REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyoroti keengganan partai politik membatalkan pengusungan mantan terpidana kasus korupsi sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024. Menurut dia, sikap partai politik itu membahayakan publik.
Titi menjelaskan, dari sisi hukum, partai politik (parpol) memang bisa mengusung eks terpidana korupsi menjadi caleg. Di sisi lain, sikap parpol itu menunjukkan betapa buruknya mekanisme rekrutmen dan pencalonan di internal partai.
Parpol, kata dia, merupakan sumber utama rekrutmen politik untuk selanjutnya dinominasikan mengisi jabatan publik seperti anggota dewan, sebuah jabatan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Ketika koruptor diusung menjadi caleg, berarti parpol telah gagal melakukan penyaringan kandidat berkualitas dan juga menggambarkan bahwa parpol tidak bekerja dengan semangat antikorupsi.
Titi menjelaskan, pengusungan eks terpidana kasus korupsi berarti membuka ruang bagi mereka kembali melakukan praktik culas tersebut. Hal itu jelas membahayakan keuangan negara dan tentu masyarakat.
"Orang yang terbukti gagal ketika dia menjabat di jabatan publik, gagal mengelola keuangan negara atau rentan dalam perilaku korupsi atau tindakan koruptif ketika mengelola keuangan negara, tapi kembali diberi kesempatan untuk mengakses hal-hal yang sebelumnya dia gagal jalankan itu, kan ini membuat pemilih dan warga dalam keadaan berisiko terdampak kembali pada masalah hukum baru," kata Titi ketika dihubungi Republika, Jumat (1/9/2023).
Lebih lanjut, Titi mengatakan, keengganan mencoret mantan terpidana korupsi itu menandakan bahwa parpol gagal menciptakan kader-kader baru yang berkualitas untuk dicalonkan. Kegagalan itu pada akhirnya membuat parpol kembali memilih orang-orang yang pernah melakukan korupsi.
Menurut Titi, parpol yang terus mengusung koruptor sebagai caleg karena menggunakan pendekatan pragmatis untuk memenangkan kursi anggota dewan, yang prosesnya berbiaya mahal. Ketimbang memilih figur bersih yang tak bermodal, parpol justru mengusung koruptor yang punya kekuatan finansial dan popularitas.
Titi menjelaskan, para eks terpidana kasus rasuah rata-rata memang punya dua kekuatan tersebut. Pertama, mereka punya kekuatan ekonomi meskipun pernah dipenjara akibat melakukan korupsi.
"Setelah keluar penjara, mereka masih punya jejaring ekonomi. Kita kan belum punya Undangan-Undang tentang Perampasan Aset, sehingga tidak heran selepas mereka menjalani pidana, kondisi ekonomi mereka tetap baik," ujar pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Kedua, para pencuri uang rakyat itu punya jejaring sosial yang kuat di tengah masyarakat karena pernah menduduki jabatan publik. Bahkan, tak jarang mereka ketika menjabat kerap memberikan bantuan sosial kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat mudah berempati kepada eks napi koruptor akibat termakan narasi "saya korban kriminalisasi".
Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya mendapati puluhan eks terpidana kasus korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR dan DPRD yang dipublikasikan KPU.
Untuk bakal caleg DPR, ditemukan ada sembilan koruptor. Rinciannya, lima dari Partai Nasdem, dua dari PDIP, satu dari Partai Golkar, dan satu dari PKB.
Untuk tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota, ditemukan 24 koruptor yang ikut nyaleg. Terbanyak dari Partai Golkar dan Gerindra, yakni masing-masing empat orang.
Ketua DPP Bidang Teritorial Pemenangan Pemilu Partai Nasdem, Effendy Choirie alias Gus Choi membela langkah partainya mengusung lima mantan terpidana kasus korupsi sebagai bakal caldg DPR. Dia menyebut, pengusungan lima orang itu tidak melanggar ketentuan pemilu.
"Semua yang direkrut (Partai Nasdem sebagai caleg) pasti secara hukum diperbolehkan menurut hukum. Secara moral boleh jadi dipertanyakan rekam jejak mereka korupsi, masuk penjara, dan segala macam, tapi secara hukum mereka sudah selesai," kata Gus Coi kepada wartawan di Gedung Akademi Bela Negara Nasdem, Jakarta Selatan, Ahad (27/8/2023).
Karena itu, Gus Choi menyerahkan kepada rakyat untuk memilih ataupun tidak memilih lima caleg mantan narapidana kasus rasuah yang diusung Partai Nasdem itu. Sebab, rakyat lah penentu akhir apakah seseorang layak menjadi wakil rakyat atau tidak.
Pembelaan dengan mengedepankan aspek legal formal seperti itu juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus. "Kita Golkar sebagai partai terbuka ya, kita tetap mengingatkan mereka tentang hal-hal yang nggak boleh melanggar hukum. Tapi sekali lagi, mereka sebagai warga negara punya hak (menjadi caleg)," ujar Lodewijk kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Selasa (29/8/2023).
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto juga membela langkah partainya dengan menyebut mantan koruptor itu sudah menjalani hukuman. Selain itu, dua mantan terpidana kasus korupsi yang diusung PDIP sebagai caleg DPR RI merupakan sosok yang keahliannya dibutuhkan publik. Rokhmin Dahuri, misalnya, merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang punya keahlian di bidang maritim.