REPUBLIKA.CO.ID, Penanganan bencana gempa kini memasuki fase transisi dari masa tanggap darurat menuju pemulihan. Sejak gempa pertama pada Ahad (29/7), proses penanganan bencana gempa sudah berjalan satu bulan.
Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Tribudi Prayitno, mengatakan, jumlah pengungsi mulai mengalami penurunan. Derdasarkan data Komando Satuan Tugas Gabungan Terpadu Penanganan Darurat Gempa NTB dari pada saat masa awal bencana yang mencapai lebih dari 500 ribu pengungsi, menjadi 396.032 pengungsi .
"Jumlah pengungsi menurun cukup signifikan, artinya warga sebagian mulai kembali ke halaman rumah dan mulai bangun tempat bermukim sementara bersama keluarga dari terpal, tidak lagi di pos pengungsian," ujar Tribudi kepada Republika.co.id di Mataram, NTB, Senin (3/9).
Dia menambahkan, sebagian warga juga mulai kembali beraktivitas seperti biasa, seperti para petani di Lombok Utara yang melakukan panen kacang dan menjualnya. "Geliat ekonomi sejak dua minggu sudah mulai. Itu memang jadi atensi dari penanganan darurat bencana untuk memastikan geliat ekonomi mulai berjalan," ucapnya.
Pernyataan Tribudi mungkin ada benarnya jika kita melihat pasar-pasar tradisional yang ada di wilayah terdampak seperti Pasar Tanjung dan Pasar Santong di Lombok Utara, atau Pasar Gunungsari di Lombok Barat mulai ramai kembali oleh aktivitas jual-beli, meski dilakukan di depan pasar karena kondisi bangunan pasar yang belum memungkinkan ditempati.
Warga Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara (KLU), Artim Yahya (52 tahun), mencoba bangkit dari keterpurukan. Pendiri Koperasi Tani Maju Bersama mengaku sudah mulai kembali beraktivitas di lahan pertanian dan perkebunan. Tokoh Perubahan Republika 2016 itu mengaku tak ingin lama-lama dalam kesedihan. Meski rumahnya roboh, dan kini tinggal di tenda pengungsian, Artim memotivasi anggota koperasi untuk kembali bekerja.
"Kita mulai bersihkan lahan sambil ambil pisang. Soalnya pembeli pisang dari Mataram dan Lombok Tengah tetap rutin ambil ke sini seminggu sekali," kata Artim.
Artim menyebutkan, pisang dijual dengan harga Rp 5.500 per sisir. Dalam sepekan, ia mengaku menjual sekitar 300 sisir. Jika dikalkulasikan, Artim mampu meraih uang dari penjualan pisang sebesar Rp 1.650.000 per pekan.
"Alhamdulillah sambil menunggu uluran berbagai pihak, dari pisang, para petani dapat makan, itu baru dari satu komoditi pisang, belum lagi kopi dan kakao," lanjutnya.
Kampung Artim menjadi salah satu wilayah dengan dampak terparah. Pada Kamis (30/8), Republika.co.id, sempat menengok kondisi di sana, di mana reruntuhan puing bangunan rumah masih berserakan di sepanjang jalan menuju rumahnya. Setibanya di rumahnya, rumah Artim telah rata dengan tanah, hanya menyisakan berugaq (gazebo khas suku Sasak) yang masih berdiri tegap.
Artim dan keluarga sendiri tidak berada di lokasi, dan tinggal di halaman kantor operasi dengan tenda darurat. Matanya berkaca-kaca saat menceritakan malam kejadian. "Kayak kita mimpi," ucapnya saat itu.
Besarnya guncangan gempa, membuat tiga orang anggota keluarganya dan sejumlah anggota koperasi meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan. "Saudara saya lagi bersihkan tangkai cengkeh dalam rumah, meninggal tiga orang di dalam rumah," ujarnya.
Saat kejadian, ia dan istrinya, Nur Aini (49), sedang di dalam rumah. Sedangkan anaknya, Sri Hartini berada di Tanjung, KLU, sementara anaknya paling bungsu, Hidayatul Ikhwan sedang belajar di Pare, Kediri, Jawa Timur. Dia bersama istri langsung keluar rumah begitu gempa terjadi. Anaknya yang Tanjung juga selamat dari gempa.
"Malam kejadian, saya keliling lihat rumah warga ternyata sama, mana lampu padam, sampai Selasa sinyal tidak ada. Listrik baru nyala Kamis. Betul-betul terisolir kayak kita kembali ke tahun 70-an," kata dia.
Artim menyampaikan, hampir seluruh rumah yang ada di kampung ini rusak akibat gempa, di mana sebagian besar roboh. Adapun rumah warga yang masih berdiri tegap ialah rumah-rumah yang berbentuk rumah panggung maupun berugaq yang bahan dasarnya kayu.
"Yang bertahan, itu seperti di sana, rumah panggung bertahan, kalau rumah batu bata habis semua," lanjut Artim.
Akibat gempa, sejumlah usahanya yang ia gagas sejak lama kini hancur lebur tak tersisa. "Kita punya produksi madu dan minyak kemiri, semua hancur, makanya terhenti sudah produksi, alatnya juga rusak, kita mulai dari nol sekarang," selorohnya.
Artim juga mengeluhkan minimnya bantuan dari pemerintah kepada warga di kampungnya. Kata dia, bantuan dari pemerintah memang ada, namun sangat terbatas dan masih jauh dari kata cukup.
"Ada bantuan sembako, beras 1 kg per KK untuk seminggu, masih terbatas. Di saat warga, kita ambil bantuan di kantor desa, tapi cuma ambil beras cuma 1 kg," kata dia.
Artim mengaku mengandalkan bantuan dari relawan dan juga keluarganya yang tidak terdampak gempa di Lombok Timur dan Lombok Tengah. Pelbagai bantuan yang ia terima meliputi terpal, selimut, dan sejumlah perlengkapan untuk tinggal di tenda darurat.
Artim sebelum gempa terjadi telah mendirikan semacam tenda sementara di halaman koperasi dengan gedek dan bambu. "Memang sudah lama saya ingin buat, eh sekarang alhamdulillah bisa digunakan," ungkap Artim.
Artim melanjutkan, warga di kampungnya bersyukur berada tidak jauh dari sumber mata air sehingga tidak mengalami kesulitan akan kebutuhan air bersih. Kata dia, yang sangat dibutuhkan warga saat ini ialah adanya bantuan untuk pembersihan puing bangunan akibat gempa. Hal ini sangat penting bagi warga yang hendak kembali membangun rumahnya mengingat musim penghujan akan tiba.
"Belum ada alat berat datang ke sini, justru kita pusing dengan bongkahan rumah. Kalau rumah rusak kan sudah karuan, tapi bongkahan di sepanjang jalan ini yang buat kita pusing," katanya menambahkan.
Pada Senin (3/9), kata Artim, kondisi reruntuhan puing bangunan rumah masih tak jauh beda lantaran belum adanya alat berat yang masuk ke kampungnya. Alhasil, warga mulai membersihkan secara mandiri dengan manual puing-puing bangunan rumah yang roboh akibat gempa.
Kondisi menyedihkan juga dirasakan warga Dusun Lengkukun, Desa Kayangan, Kecamatan Kayangan, KLU. Kepala Dusun Lengkukun, Nasudin (52), mengatakan, 647 jiwa dari 212 kepala keluarga (KK) di Dusun Lengkukun tinggal di pos pengungsian. Sebanyak 579 jiwa dari 200 KK tinggal di pos pengungsian di Dusun Lengkukun. Sementara 12 KK lainnya tinggal di dusun-dusun tetangga.
Nasudin mengatakan, hampir sebulan ini warganya tinggal tanpa adanya sarana MCK di pos pengungsian. Kondisi bau tak sedap begitu terasa saat berada di pos pengungsian ini karena warga terpaksa buang hajat di dekat pos pengungsian. "Jujur saja buang hajat di kebun-kebun," ujar Nasudin.
Sementara untuk mandi, warga harus mengantri. Dari sekian banyak kamar mandi yang berada di rumah, kini hanya tiga kamar mandi yang bisa berfungsi. Dia mengaku enggan menyalahkan pemerintah karena ia tahu bahwa dampak gempa juga dirasakan begitu banyak warga di Lombok Utara.
"Warga kita juga menyadari, dalam hal ini tidak menyalahkan pemerintah atau siapa pun karena dalam kondisi seperti ini, karena bukan kita di KLU saja yang ditimpa musibah," kata dia.
Sembari menunggu bantuan pemerintah, termasuk program rehabilitasi rumah, dia meminta warga gotong-royong membersihkan puing-puing bangunan. "Mulai seminggu kemarin, kita arahkan pulang bersihkan puing, biar nanti kalau semisal ada bantaun rumah sementara, tinggal kita bangun di situ," ucapnya.
Nasudin mengaku bersyukur adanya bantuan pembuatan MCK oleh relawan pada Rabu (29/8), yang kini sudah bisa digunakan. Selain itu, ada juga mushala darurat yang telah berada di areal pengungsian. Sarana ibadah, dia katakan, menjadi prioritas utama.
"Walaupun dalam kondisi ini, kita tidak boleh larut dengan kesedihan dan enggak boleh lupakan yang Allah SWT, karena kita hanya manusia menerima sudah diatur, alhamdulillah ramai jamaah dan ada tausiah serta ngaji bagi anak-anak," sambungnya.
Kata dia, warga masih fokus pada hal-hal kebutuhan mendasar, terutama pembangunan huntara sebagai langkah antisipasi datangnya musim hujan.
Beralih ke Lombok Timur, Kepala Dusun Medas, Desa Obel-obel, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Saiful Nuryadi, mengatakan, masih banyak warganya yang trauma untuk kembali bekerja. Mata pencaharian warga Medas bergerak di bidang pertanian dan juga buruh.
"Ada yang sudah mulai berani bekerja, tapi banyak juga yang belum berani," kata Saiful.
Kata Saiful, fokus warga saat ini masih pada persoalan mendasar seperti kebutuhan pokok untuk anak-anak seperti makanan, hingga asupan gizi. Warga juga sedang membangun hunian sementara dengan sisa-sisa bangunan yang masih bisa dimanfaatkan.
"Pagi sampai sore pada kembali ke rumah, bersih-bersihkan puing, nanti malamnya kembali ke pos pengungsian," tambah Saiful.
Warga Desa Obel-obel, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, Turmuzi (35) bersyukur telah mendapatkan bantuan untuk rehabilitasi rumahnya yang rusak senilai Rp 50 juta. Ia sendiri telah menerima buku tabungan dari Bank BRI dengan saldo senilai Rp 50 juta, bertepatan dengan kedatangan Jokowi di Lombok Utara, NTB, pada Ahad (2/9). Turmuzi mengatakan, wilayahnya di Obel-obel merasakan gempa besar sebanyak tiga kali, mulai Ahad (29/7), Ahad (5/8), dan Ahad (19/8).
"Rumah saya rusak berat, sudah rata dengan tanah, kemarin sudah dibersihkan sama TNI," kata dia.
Dia mengaku bersyukur, istri dan anak-anak selamat dari reruntuhan bangunan akibat gempa. Rencananya, uang bantuan itu akan dia alokasikan untuk kembali membangun rumahnya.
"Saya mau bangun rumah yang tahan gempa dan tahan dari banjir juga. Kalau gempa mungkin kan terjadi pada jangka panjang. Namun, kalau banjir hampir tiap tahun terjadi," ucap Turmuzi.
Saat ini, anak dan istri masih tinggal di pengungsian. Ia berupaya kembali membangun rumahnya agar anak-anak dan istri bisa tinggal di rumah karena menjelang datangnya musim penghujan.
Musibah bencana, kata dia, juga turut merusak lahan pertanian miliknya. Ia mengaku lahan pertaniannya gagal panen akibat dampak gempa, mulai dari cabai hingga jagung. Hal ini membuat Turmuzi menganggur sembari menanti bantuan pemerintah.
"Lagi gagal panen semua, kemarin biasanya saya dapat 2 ton jagung, kemarin hanya panen 3 kuintal," ucapnya.
Bagi Turmuzi, fokus utamanya saat ini adalah pindah dari tenda pengungsian dan kembali ke rumah, meski sebatas hunian sementara bersama keluarga.
Di Lombok Barat, warga Gunungsari yang tinggal di pos pengungsian, Mutiah (45), mengaku belum bisa kembali bekerja seperti yang selama ini ia lakukan.
Mutiah yang sehari-harinya berjualan cilok keliling terpaksa tidak berjualan untuk sementara waktu. Pasalnya, ketiga anaknya melarang dia berjualan karena trauma gempa. Bersama ketiga anaknya pula, sejak Ahad (5/8), mereka tinggal di pos pengungsian. Rumahnya, yang meski tidak roboh, namun sudah tidak layak dihuni karena mengalami rusak cukup parah.
"Kata anak-anak tunggu kondisi benar-benar normal baru boleh jualan lagi," kata Mutiah.
Kepala Desa Jeringo, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Sahril, mengatakan warganya masih fokus berinisiatif mendirikan hunian sementara (huntara) mengingat akan datangnya musim penghujan. Mayoritas warganya bekerja pada sektor pertanian dan buruh. "Belum ada yang bekerja karena masih fokus pada huntara," ucap Sahril.
Huntara yang dibuat merupakan inisiatif pribadi dari warga mengingat belum adanya bantuan dalam sektor ini. Sahril menyampaikan, warga memanfaatkan sisa-sisa bangunan yang masih bisa dipergunakan untuk dipakai membangun huntara.