Senin 27 Aug 2018 16:56 WIB

Merepresi #2019gantipresiden Justru Rugikan Citra Pemerintah

Lebih baik dibuat deklarasi tandingan untuk melawan gerakan #2019gantipresiden .

Massa aksi deklarasi #2019GantiPresiden dan massa penolak deklarasi #2019GantiPresiden saat menggelar aksi di depan Gedung DPRD Jatim, Ahad (26/8).
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Massa aksi deklarasi #2019GantiPresiden dan massa penolak deklarasi #2019GantiPresiden saat menggelar aksi di depan Gedung DPRD Jatim, Ahad (26/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah represif terhadap gerakan #2019gantipresiden dinilai justru akan mencoreng citra pemerintah. Pemerintah justru akan terkesan otoriter ataupun represif.

Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo mengatakan gerakan #2019gantipresiden sudah muncul jauh sebelum pendaftaran pasangan capres-cawapres. Sehingga masalah itu seharusnya tidak usah diributkan.

"Apalagi sampai aparat keamanan melakukan tindakan represif yang sangat berlebihan, seperti yang dialami mbak Neno Warisman di Riau," kata Dradjad, kepada republika.co.id, Senin (27/8).

Justru dengan tindakan-tindakan tersebut, apalagi dilakukan terhadap seorang emak-emak, menurut Dradjad, citra pemerintahan jadi tercoreng. "Pemerintah jadi terkesan otoriter, represif dan anti-demokrasi. Emak-emak jadi makin bersimpati ke mbak Neno dkk," paparnya.

Gerakan tersebut, menurut Dradjad, bukan kampanye pilpres. Karena parpol sama sekali tidak terlibat. Sehingga hashtagnya tetap #2019gantipresiden.

Tapi kalau hashtag-nya diubah seperti saran GP Anshor, otomatis itu menjadi kampanye pilpres. Karena, hashtag itu mengampanyekan Prabowo Subianto sebagai capres. Padahal kampanye pilpres baru dimulai Oktober 2018.

Daripada ribut-ribut, menurut Dradjad, lebih baik deklarasi tandingan, dengan acara yang sama meriah dan menyenangkannya. "Kasih kesempatan juga bagi pedagang kaki lima berjualan dan sebagainya, sehingga bermanfaat. Gitu aja koq repot," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement