REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK -- Tak ada waktu untuk beristirahat atau hanya untuk sekadar menaruh barang-barang maupun berbaring di hotel. Setibanya di Bandara Internasional Lombok di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Senin (30/7) sekira pukul 11.30 Wita, Sri Hidayati, Rahayu Robiana, Fadlianto Nurfalah, dan Pandu Adi Minarno langsung menuju Kecamatan Sambelia di Kabupaten Lombok Timur. Jarak tempuh yang dilalui untuk mencapai lokasi sekira 100 kilometer atau 2 jam 40 menit.
Kehadiran mereka bukan untuk berlibur, sebagaimana kebanyakan orang datang ke Lombok, melainkan untuk melakukan penelitian dan pemetaan dampak gempa seperti kerusakan bangunan, pergeseran tanah, retakan tanah jika ada likuifaksi dan longsoran, serta identifikasi karakteristik tanah setempat melalui pengukuran microtremor.
Keempat orang ini merupakan peneliti gempa dan tsunami dari Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sri Hidayati adalah Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami PVMBG, sekaligus pemimpin rombongan.
Pulau Lombok diketahui mengalami guncangan gempa hebat pada Ahad (29/7) pukul 06.47 dengan kekuatan magnitudo 6,4 skala richter (SR). Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB menyebutkan, gempa mengakibatkan ribuan rumah rusak, 17 korban meninggal, ratusan orang luka-luka, dan puluhan ribu warga terdampak, banyak dari mereka kini tinggal di pengungsian.
Selama lima hari, sejak Senin (30/7) hingga Jumat (3/8), tim menyusuri sejumlah titik yang menjadi lokasi kejadian gempa terparah, mulai dari Kecamatan Sambelia dan Sembalun di Lombok Timur, hingga berlanjut ke Bayan di Lombok Utara.
Dalam pantauannya, retakan tanah ditemukan di beberapa tempat, dan setiap bangunan yang dilewati retakan tersebut selalu mengalami kerusakan. Dia mencontohkan saat pemetaan kerusakan dilakukan di Dusun Melempo, Desa Obel-obel, Kecamatan Sambelia, di mana jampir 100 persen bangunan di wilayah tersebut rusak berat, dan retakan tanah banyak ditemukan berarah barat-timur sampai timur laut-barat daya.
Keretakan-keretakan tanah yang muncul saat gempa memberi petunjuk bahwa sumber gempa berada di sisi utara Pulau Lombok. Gempa bumi terjadi pada Ahad (29/7) berada pada koordinat 8,26° LS dan 116,55° BT, dengan magnitudo 6,4 skala richter (SR) pada kedalaman 10 km, berjarak 28 km barat laut Lombok Timur.
"Kita lihat di utara Lombok atau NTB ada yang kita Flores Back Arc Thrust (Sesar Naik Flores), sumbernya (gempa) dari sana," ucapnya.
Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan, gempa ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik (thrust fault). Tim juga menelaah tentang jenis batuan yang juga turut andil menyumbang pengaruh kerusakan. Sri menjelaskan, kawasan terdampak gempa seperti Sambelia, Sembalun, dan Bayan yang berada di kaki Gunung Rinjani tersusun oleh batuan endapan alluvium dan endapan gunung api yang bersifat urai sehingga memperkuat guncangan gempa bumi. Secara geologi, endapan tersebut merupakan endapan yang muda, yang memiliki arti belum 'kompak'.
"Endapan yang bersifat urai itu akan memperkuat guncangan gempa bumi, bisa menjadi sebagai indikasi kenapa kerusakan di situ parah," ungkapnya.
Selain dekat dengan sumber gempa dan juga tersusun oleh batuan endapan alluvium dan endapan gunung api yang bersifat urai, yang mendorong kerusakan parah juga tak luput dari kondisi bangunan yang dinilai tidak mengikuti kaidah bangunan konstruksi tahan gempabumi. Konstruksi bangunan yang buruk membuat rentan saat terjadi bencana.
"Tetapi yang menarik bangunan (rumah) yang dari kayu itu enggak ada yang roboh, (Dusun) Ketapang (Lombok Timur) mayoritas (rumah) roboh semua, ada sisa empat atau lima rumah dari kayu itu berdiri tegak," kata Sri.
Konstruksi bangunan dengan mengedepankan kearifan lokal menggunakan bayu justru menjadi penyelamat ketimbang bangunan permanen yang tidak mengikuti kaidah bangunan konstruksi tahan gempabumi. Kondisi serupa dijumpai Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, di mana deretan rumah berbahan dasar kayu tidak ada satu pun yang mengalami kerusakan.
"Jadi gempa bumi itu tidak akan membunuh, yang membunuh itu runtuhnya bangunan, temboknya itu yang membunuh. Jadi bagusnya ke depan, bangunan harus diperhatikan, bangunan kayu saya lihat lebih bagus, mungkin nenek moyang kita dulu (mengerti), apakah ribuan tahun lalu pernah gempa, kita tidak tahu," lanjutnya.
Namun yang pasti, dalam tinjauannya di lapangan, rumah-rumah yang berbahan dasar kayu tidak goyah oleh guncangan gempa. Tak hanya rumah, berugaq (gazebo) yang merupakan bangunan khas warga Lombok dengan bahan dasar kayu pun tidak ada yang roboh.
Sri melanjutkan, berdasarkan peta kawasan rawan bencana (KRB) yang dirilis pada 2012, daerah Lombok Utara dan Lombok Timur memang masuk dalam kategori KRB menengah dengan indikator warna kuning yang bermakna mempunyai potensi gempa bumi dengan guncangan kuat pada skala MMI VII hingga VIII.
Perihal gempa susulan yang masih terjadi hingga lebih dari 500 kali merupakan hal yang lumrah lantaran tengah keseimbangan baru. Meski begitu, kata Sri, grafik energi gempa terus mengalami penurunan.
Sri mengungkapkan, yang terpenting saat ini bagaimana cara mengurangi risiko gempa bumi ke depan. Sejumlah upaya yang harus dan terus menerus dilakukan antara lain, memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, mengikuti kaidah bangunan konstruksi tahan gempabumi, dan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana.
Kewaspadaan ini penting disuarakan lantaran letak Lombok dan Indonesia pada umumnya yang berada di di tiga lempeng benua yang aktif.
Dia juga memastikan, guncangan gempa tersebut tidak berimplikasi pada peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Rinjani maupun adanya tsunami. Sri bersama tim mengaku pernah membuat pemodelan potensi tsunami di Lombok pada tahun lalu dengan hasil wilayah Lombok bagian selatan yang memiliki potensi adanya tsunami, tak lepas dari kejadian tsunami di selatan Pulau Lombok, di mana air masuk ke darat sejauh 500 meter, pada sekitar 1976 hingga 1979 dengan sumber di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Edukasi tentang potensi tsunami juga penting. Biasanya kemunculan tsunami didahului adanya gempa. Diharapkan, masyarakat pesisir selalu awas begitu terjadi gempa agar segera menjauhi pantai, entah itu ada potensi tsunami atau tidak, karena bagian dari ikhtiar mitigasi bencana.
"Kita kan juga menerbitkan peta KRB tsunami, diharapkan tepi pantai banyak pohon dihijaukan, jadi kalau ada pohon atau bakau banyak, juga bisa meredam energi tsunami, jadi sampai darat bisa berkurang energinya," kata dia.
Dia juga berharap, rehabilitasi rumah rusak oleh gempa yang nantinya akan dilakukan pemerintah mengikuti kaidah bangunan konstruksi tahan gempabumi, bersamaan dengan penataan kawasan yang lebih baik.
Peneliti PVMBG Pandu Adi Minarno mengapresiasi upaya pemerintah setempat yang telah memiliki zona darurat sebagai titik kumpul saat bencana berupa lapangan yang ada di sejumlah wilayah terdampak. Pandu coba meluruskan adanya informasi yang menyebutkan bahwa gempa susulan dengan kekuatan lebih besar disertai waktu terjadinya gempa.
"Tidak bisa, belum ada teknologi di dunia (prediksi detail gempa). Jadi kalau ada berita tentang prediksi gempa seperti itu dipastikan hoaks," kata Pandu.
Kata Pandu, negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jepang pun belum memiliki teknologi yang dapat mengungkapkan secara detil tentang waktu dan lokasi gempa yang akan datang. Pandu melanjutkan, gambaran yang ada hanyalah sedikit prediksi lokasi kejadian, karena kejadian gempa biasanya akan mungkin berulang di tempat yang sama.
Dia sedikit memberikan gambaran bahwa acapkali gempa susulan akan terjadi di wilayah yang sebelumnya terjadi gempa meski diikuti penurunan intensitas maupun kekuatan gempa.
"Tapi memang untuk waktunya belum bisa. Kalau itu bisa pasti sudah dibeli sama pemerintah karena akan menyelamatkan banyak orang," ungkap Pandu.
Pandu menambahkan, mitigasi bencana juga bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, seperti menyiapkan sebuah tas berisikan peralatan-peralatan seperti pakaian, senter, lilin, dan lain sebagainya, yang sewaktu-waktu bisa bermanfaat saat datang bencana."Mitigasi bencana melalui edukasi kepada masyarakat menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dan juga kami di pusat," katanya menambahkan.