Senin 30 Jul 2018 01:01 WIB

Difabel Rungu Bukan Penghalang Prestasi

Sebelum operasi implan, Azel memahami perkataan orang lain dengan membaca gerak bibir

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Bilal Ramadhan
 Penyandang tuna rungu saat beraksi damai dengan menunjukkan bahasa isyarat
Penyandang tuna rungu saat beraksi damai dengan menunjukkan bahasa isyarat "cinta" memperingati Hari Tuna Rungu Internasional di Bundaran Hotel Indonesia,Jakarta, Jum'at (28/9). (Aditya Pradana Putra/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Belasan anak-anak usia di bawah lima tahun (balita) hingga remaja berkumpul di Kebun Raya Bogor, Ahad (29/7). Bersama orang tua masing-masing, mereka duduk ngariung di bawah sebuah tenda di Lapangan III Randu.

Jika dilihat sekilas, anak-anak ini tampak normal seperti yang lain. Mereka bercengkerama, saling bercanda, dan duduk ikut mengobrol dengan orang tua dan kerabat. Tapi, bila diperhatikan, akan terlihat untaian kabel yang tersambung dari telinga anak-anak ini menuju satu titik di bagian belakang kepala mereka.

Anak-anak ini memang bukan anak-anak biasa. Mereka adalah anak-anak difabel rungu. Perkumpulan yang diadakan juga merupakan pertemuan pertama mereka bagi keluarga yang anak-anaknya memilih untuk melakukan implan koklea.

Komunitas Implan Koklea Indonesia (KIKI) merupakan wadah bagi keluarga yang anggotanya menyandang difabel rungu dan memutuskan melakukan implan koklea atau rumah siput. Di komunitas ini, tiap anggotanya bisa berbagi ilmu, informasi, serta dukungan. Memang, dukungan moril dan semangat ini yang dibutuhkan dalam menghadapi kehidupan nyata.

Salah satu remaja yang selama 1,5 tahun hidup dengan implan koklea ini adalah Azelia Salsabila. Remaja berusia 13 tahun ini bahkan memutuskan sendiri ingin melakukan operasi.

Sebelumnya, Azel menggunakan alat bantu dengar (ABD) konvensional. Tapi, setelah lebih dari empat tahun menggunakan alat itu, pendengaran Azel bukannya membaik, malah makin buruk.

Gadis yang bersekolah di SMP Bani Saleh 2 Bekasi ini, sebelum melakukan operasi implan pun berusaha memahami orang lain dengan membaca gerak bibir lawan bicaranya. Hal ini dianggap membantunya dalam berinteraksi dengan keluarga maupun teman sebaya.

Azel yang kini duduk di bangku kelas 8 SMP ternyata memiliki segudang prestasi. Ia pernah meraih dua medali emas sekaligus di kejuaraan karate internal perguruan tingkat Jawa Barat.

Bagi Azel, karate bukan sekedar olahraga. Olahraga fisik ini dianggap sebagai pemicu semangatnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Prestasi gadis belia ini tidak berhenti di situ. Ia pun selalu menduduki peringkat tertinggi dalam ujian sekolahnya.

"Waktu SD, aku sering ikut lomba pidato. Pernah pidato bahasa Arab. Dulu, juga ikut yang pildacil (pemilihan dai cilik)," ucap Azel.

Dengan menggunakan implan koklea, Azel tidak merasa aneh atau sakit. Hanya, jika ada orang di dekatnya berteriak atau mengeluarkan suara tinggi, ia merasa pusing.

Remaja berprestasi lainnya adalah Daneshvara Raja Wyoga. Remaja laki-laki berusia 13 tahun ini meraih dua medali emas untuk atlet renang di Bangkok. Didan, nama panggilan, saat ini duduk di kelas VI SD Berkemas, Jakarta Selatan.

Dua medali yang ia raih ini dari kategori 50 meter gaya dada putra dan 50 meter gaya bebas putra kelompok umur 11-12 tahun antarpelajar se-DKI Jakarta. "Aku sudah suka renang dari 2,5 tahun. Aku juga suka olahraga lari," ujar Didan.

Didan juga mendapatkan predikat Best Performance Lomba Lari 2K Jakarta Kids Dash. Penggagas berdirinya KIKI, Illian Deta Arta Sari, mengatakan, pertemuan yang dibuat di Bogor ini adalah yang pertama kali. Sebelumnya, para anggota komunitas hanya berhubungan melalui grup Facebook atau Whatsapp.

Saat ini, ada sekitar 400 keluarga yang sudah bergabung dalam KIKI. Wanita yang anak keduanya juga menggunakan implan ini menyebut, total pemakai implan di Indonesia ada 1.500 orang. Jumlah ini dinilai tidak sebanding dengan penderita ketulian di Indonesia yang lebih dari satu juta jiwa.

Dalam komunitas ini, yang bergabung bukan hanya keluarga dan pasien yang melakukan implan, dokter THT, terapis, serta provider alat implan pun bergabung. Hal ini untuk mempermudah komunikasi dan membagi informasi mereka.

Sebagai orang tua yang anaknya menderita gangguan pendengaran berat, Illiana pun merasa sedih. Bahkan, ia menyesal baru mengetahui kondisi putrinya setelah sang putri berusia 2,5 tahun. Menurutnya, hal ini terlambat karena saat anak menggunakan implan, ia harus mengajari anaknya berbicara seperti anak baru lahir.

Dengan dibentuknya komunitas ini, Illiana berharap, kesadaran masyarakat terhadap implan koklea bisa lebih baik. Selama ini, banyak anggapan yang salah tentang implan tersebut.

"Kita ingin agar orang tahu bahwa tunarungu ini masih punya kesempatan dalam mendengar dan berbicara. Kita ingin memberikan edukasi kepada publik," ucap Illiana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement