Jumat 27 Jul 2018 07:41 WIB

Langkah Prabowo dan Makin Mengerucutnya Poros Koalisi

Banyak faktor yang membuat kegelisahan dalam diri Prabowo.

Manuver pertemuan politik Jokowi Vs Prabowo.
Foto: republika
Manuver pertemuan politik Jokowi Vs Prabowo.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Febrianto A Saputro

Peta politik menjelang pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden, 4-10 Agustus 2018, semakin mengerucut. Rangkaian pertemuan partai politik (parpol) sejak awal pekan ini menunjukkan kejelasan peta tersebut.

Poros pertama berintikan parpol pendukung bacapres pejawat Joko Widodo (Jokowi). Terdapat enam parpol dalam koalisi itu, yaitu PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura. Koalisi itu belum menghitung parpol nonparlemen, seperti PSI dan Partai Perindo.

Poros kedua berintikan parpol yang kemungkinan mendukung Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Keempat parpol dalam koalisi itu, yakni Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Parpol nonparlemen, seperti PBB dan Partai Berkarya pun turut dalam poros tersebut.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, mengatakan, dalam politik setiap detik begitu berharga. Apalagi, pendaftaran pasangan bacapres dan bacawapres segera dibuka. Sehingga wajar jika Jokowi bersama enam parpol koalisi segera menetapkan sosok bacawapres.

Menurut Ujang, langkah Jokowi dan parpol koalisi itu sebagai strategi berkomunikasi dengan media. "Karena ketika pemberitaannya terus berjalan maka mereka dianggap di atas angin," kata Ujang seperti dilansir kantor berita Antara, kemarin.

Ujang menjelaskan, karena waktu sangat berharga dalam politik, sulit jika harus menunggu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materi UU Pemilu. Salah satu pasal yang diuji berkaitan masa jabatan presiden-wakil presiden yang diajukan Partai Perindo.

"Kalau, misalnya, saat ini dilakukan uji materi dan ketinggalan karena cawapres Jokowi akan segera ditetapkan, maka tidak masalah karena kepemimpinan tidak terpatok pada satu orang," ujar dia.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Jayabaya Jakarta, Lely Arrianie, mengatakan, kemungkinan Prabowo hanya bertindak sebagai king maker dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih besar. Sebab, gelagat kebimbangan dan gestur tidak tegas dari sosok Prabowo masih terlihat jelas.

"Deklarasi untuk maju saja belum ada. Kemarin hanya Gerindra yang deklarasi mendukung. PKS sebagai partai koalisi juga belum terang-terangan mengusung Prabowo maju ke pilpres," kata Lely, Kamis (26/7).

Lely menjelaskan, banyak faktor yang membuat kegelisahan dalam diri Prabowo. Di antaranya, elektabilitas Prabowo yang masih belum bisa unggul dari Jokowi dalam berbagai survei. Kegagalan berkali-kali yang dialaminya, termasuk pada Pilpres 2014, membuat yang bersangkutan semakin banyak pertimbangan.

Faktor lain yang membuat kemungkinan Prabowo sebagai king maker itu tetap ada adalah logistik. Keterbatasan dukungan finansial tampak terasa di kubu Prabowo. "Politik itu tidak terlepas dari duit atau logistik. Diharapkan, ada bantuan bukan sekadar menambah elektabilitas, melainkan juga finansial ini," ujar Lely.

Apabila Prabowo menjadi king maker, dia melihat, penggantinya nanti masih dari internal koalisi. Sampai sejauh ini, ada tiga nama yang diapungkan, yakni Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, politikus senior PKS Ahmad Heryawan, dan Ketua Kogasma Demokrat AHY.

Banyak kesamaan

Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengakui, terdapat kesamaan pemahaman dan pandangan yang dimiliki antara PAN dan Demokrat terhadap banyak isu. Namun, untuk berkoalisi dalam Pilpres 2019, masih dibutuhkan pembahasan yang lebih teknis.

Eddy memastikan, pertemuan antara PAN dan Demokrat di kediaman SBY, Rabu (25/7) malam, masih dalam tahapan penjajakan. Komunikasi politik ini tidak hanya dilakukan ke Demokrat, tetapi juga partai lain seperti Gerindra. Sejauh ini, lanjut Eddy, PAN belum menentukan sikap.

Eddy mengakui, sampai saat ini terjadi perbedaan pandangan di internal terkait arah politik untuk Pilpres 2019. Namun, dia menyebut kondisi ini sebagai proses demokrasi yang sepatutnya dihidupkan.

"Pada saat nanti kami membuat keputusan dan formal dilaksanakan melalui rakernas, semua kader harus ikut," katanya.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristyanto mengklaim koalisi enam parpol yang terbangun untuk mendukung Jokowi sebagai bacapres sudah solid. Hal tersebut, kata dia, tercermin dalam pertemuan di Istana Bogor, Senin (23/7) lalu.

"Semua punya suasana kebatinan yang sama melihat kepemimpinan Pak Jokowi dengan baik bisa diterima rakyat," ujar Hasto di kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (26/7).

Meski mengklaim enam partai itu solid mendukung Jokowi, Hasto juga belum berani memastikan koalisi. Keputusan itu, kata dia, akan ditentukan oleh Jokowi.

Hubungan SBY-Mega

Selepas pertemuan dengan Zulkifli, Rabu (25/7) malam, SBY menyampaikan penjelasan lebih detail terkait usaha Demokrat untuk masuk koalisi Jokowi. Namun, SBY menyebut ada hambatan dan rintangan, salah satunya karena hubungan personal dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum pulih.

Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto menilai keluhan SBY terkait hubungan dengan Megawati bukan sesuatu yang baru. Menurut Hasto, SBY kerap membicarakan topik serupa menjelang pemilihan umum.

"Padahal, Ibu Megawati baik-baik saja. Selama ini beliau diam karena beliau percaya terhadap nilai-nilai satyam eva jayate bahwa pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang," kata Hasto.

Ia menambahkan, kegagalan Partai Demokrat bergabung dengan koalisi Jokowi lebih karena kalkukasi rumit yang dilakukan SBY. Ini karena SBY dinilai hanya fokus pada masa depan sang putra, Agus Harimurti Yudhoyono.

"Sekiranya Pak SBY mendorong kepemimpinan Mas AHY secara alamiah terlebih dahulu, mungkin sejarah bicara lain," ujar Hasto.

Kemarin, Hasto beserta jajaran mendatangi Komnas HAM. Mereka menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM berat Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996. Ia pun mengungkit peran SBY yang pada peristiwa menjabat sebagai kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya.

"Kami tahu korbannya begitu banyak, tapi ditutupi oleh rezim yang berkuasa dan yang menjadi saksi saat itu adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono," kata Hasto.

Ketua DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai pernyataan Hasto menunjukkan penyesalan PDIP karena Demokrat tidak bergabung mendukung Jokowi. "Ada kepanikan yang tersirat dari pernyataan tersebut bahwa kekalahan sudah tampak di depan mata," ujarnya, kemarin.

Ferdinand pun menekankan keputusan Demokrat tidak mendukung Jokowi karena perbedaan cara pandang terhadap bangsa. Bagi PDIP, lanjut dia, pemerintah sudah sukses karena menghadirkan Indonesia yang makmur. "Namun, bagi Demokrat, pemerintahan ini gagal dan banyak yang harus diperbaiki," kata Ferdinand.

(adinda pryanka/ali mansur/antara/farah noersativa ed: muhammad iqbal)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement