Selasa 24 Jul 2018 00:14 WIB

Median: Ganti Presiden Terus Menguat karena Dua Faktor Ini

Mood masyarakat Indonesia dalam mempertahankan Jokowi belum membaik.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Direktur Media Survei Nasional (MEDIAN), Sudarto memaparkan hasil survei mengukur elektabilitas calon gubernur DKI Jakarta priode 2017-2022, Jumat (13/5).  (Republika/ Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Direktur Media Survei Nasional (MEDIAN), Sudarto memaparkan hasil survei mengukur elektabilitas calon gubernur DKI Jakarta priode 2017-2022, Jumat (13/5). (Republika/ Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei yang menunjukkan keinginan masyarakat untuk mengganti presiden terus meningkat. Setidaknya ada dua faktor sebagai penyebabnya, yaitu faktor politik identitas dan faktor ekonomi.

Menurut Direktur Riset Median Sudarto, dua faktor tersebut harus menjadi pertimbangan Joko Widodo ketika meramu atau merancang sosok cawapres. “Pak Jokowi memiliki dua PR (pekerjaan), yaitu ekonomi yang belum berhasil dan belum berhasil pak Jokowi melakukan penetrasi terhadap masyarakat Islam, khususnya masyarakat islam politik,” kata Sudarto, di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (23/7).

Survei politik bertajuk 'Membaca Peta Kompetisi Jelang Pilpres 2019' yang dilakukan oleh Median menunjukkan mood masyarakat Indonesia dalam mempertahankan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden belum membaik. Menurut Direktur Riset Median Sudarto, sebanyak 47,90 persen menginginkan presiden baru. “Kemudian sebanyak 44,10 persen menginginkan Jokowi memimpin kembali, dan 8 persen tidak menjawab," kata dia. 

Sudarto mengatakan, dari hasil survei ini, angka publik yang menginginkan presiden baru mengalami peningkatan dibandingkan survei sebelumnya. Pada survei April lalu, masyarakat yang menghendaki adanya presiden baru sebesar 46,40 persen.

Sudarto mengatakan angka elektabilitas Jokowi memang masih yang paling tinggi di antara nama-nama capres lainnya. Namun, ia mengatakan, fakta tersebut harus menjadi peringatan penting bagi partai-partai pengusung Jokowi. 

Ia khawatir jika tidak bisa disikapi dengan baik, maka angka keinginan masyarakat untuk memiliki presiden baru terus meningkat.

Himpitan ekonomi

Sudarto masalah ekonomi dan kesejahteraan yang masih menjadi himpitan besar bagi masyarakat Indonesia. Ketika ditanyakan kepada responden secara spontan soal masalah bangsa yang paling krusial, 42 persen masyarakat Indonesia menyebutkan masalah ekonomi.

Persoalan ekonomi ini mulai dari sulitnya mencari pekerjaan, kemiskinan, sembako mahal, listrik mahal dan lain sebagainya. "Jadi hari ini tampaknya masyarakat Indonesia masih belum merasakan kinerja ekonomi pak Jokowi, masih dianggap belum berhasil oleh masyarakat Indonesia," kata Sudarto.

Sudarto menjelaskan masyarakat sebenarnya mengakui Jokowi berhasil melakukan pembangunan. Perinciannya, sebesar 16 persen mengakui pembangunan infrastruktur, 5,8 persen perbaikan jalan, 4,5 persen pendidikan gratis, dan 4,4 persen kesehatan gratis.

Namun, ia mengatakan, keberhasilan tersebut tetap tidak mampu menutupi penderitaan masyatakat akibat masalah ekonomi dan kesejahteraan. Karena itu, Sudarto menduga, sampai hari ini masyatakat masih lebih menderita dibandingkan dengan efek positif dari pembangunan infrastruktur.

"Ketika ditanya, apakah pemerintah Jokowi mampu atau tidak membenahi dan memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia saat ini, sebanyak 42,36 persen menjawan tidak mampu, 41,69 persen menjawab mampu, dan 15,94 persen tidak menjawab," kata Sudarto.

Politik identitas

Faktor kedua, Sudarto menerangkan, adanya penguatan politik identitas, khususnya Islam. Hasil survei menunjukan sebesar 43,4 responden menyatakan identitas yang paling kuat, yakni agama. Agama mengungguli identitas suku, nasional sebagai orang Indonesia, dan identitas regional. 

Politik identitas ini juga terlihat ketika Median bertanya tokoh Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, kepada responden. Mayoritas responden, yakni 42,3 persen, memilih tidak menjawab jika seandainya seluruh kasus Rizieq diampuni dan dia pulang ke Indonesia dengan aman. 

Pertanyaan kepada responden, yakni apakah kebijakan pengampunan itu tulus atau sekadar pencitraan menjelang pemilu. Jawaban kedua terbanyak juga tidak menguntungkan bagi Jokowi, yakni 33.50 persen menyatakan itu merupakan pencitraan. 

Sementara sisanya, 24,20 persen, menyebut sebagai keputusan yang tulus. Ia mengatakan angka tersebut menunjukkan ada sentimen negatif dari figur Joko Widodo di kalangan politik Islam.

Survei ini melibatkan 1.200 responden dari seluruh Indonesia. Mereka dipilih dengan metode sampel acak bertingkat secara proporsional atas populasi provinsi, dan gender. Margin of error survei sebesar kurang lebih 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement