Jumat 06 Jul 2018 19:32 WIB

Jokowi: Kemiskinan dan Pengangguran Jadi PR Besar Pemerintah

Jokowi tidak lantas puas dengan perekonomian yang selama ini dianggap baik.

Rep: Debbie Sutrisno‎/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Jokowi
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Presiden Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak lantas puas dengan perekonomian yang selama ini dianggap baik. Begitu juga dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang setiap tahun menurun secara perlahan.

Menurutnya, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah Indonesia agar angka tersebut bisa turun secara drastis. Jokowi menuturkan, dari data yang diambil melalui badan pusat statistik (BPS) posisi angka kemiskinan pada 2015 mencapai 11,3 juta, pada 2016 angkanya turun ke 10,7 juta, dan pada 2017 kembali mengalami penurunan ke titik 10,2 juta.

"Kita harapkan tahun ini (2018) akan satu digit angka kemiskinan kita," ujar Jokowi dalam Rakernas Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APEKSI), Jumat (6/7).

Namun angka satu digit ini bukan berarti kemiskinan berkisar pada sembila koma, seperti 9,9. Angka sembilan koma dianggap masih terlalu besar. Jokowi pun berharap angka kemiskinan terus ditekan hingga mencapai nol, atau tidak ada masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan.

Sedangkan untuk angka pengangguran, Jokowi menyebut bahwa pada 2015 jumlahnya mencapai 7,56 juta, sedangkan pada Februari 2018 pemerintah berhasil menurunkannya dan saat ini berada di angka 6,87 juta.

Angka yang masih terbilang tinggi ini harus jadi perhatian bersama bukan hanya oleh pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah di Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Kunci untuk menekan kedua angka ini pun adalah bagaimana Indonesia mampu menumbuhkan perekonomiannya. Dan sektor yang paling mudah meningkatkan ekonomi adalah investasi dan ekspor.

Demi menggenjot dua sektor ini, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut mengintruksikan agar pemerintah daerah bisa mempermudah izin usaha para investor baik dari dalam maupun luar negeri. Terlebih ketika investasi yang akan dibangun memiliki orientasi ekspor maka diharap izin usaha lebih mudah lagi.

"Kalau ada investasi yang orientasinya ekspor ya udah tutup mata langsung berikan izin saat itu juga. Karena ini (ekspor) akan memperbaiki neraca perdagangan kita," ujar Jokowi.

Dia menyebut bahwa negara perdagangan Indonesia saat ini masih defisit karena lebih banyak produk yang diimpor ketimbang diekspor. Untuk itu perlu perbaikan secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah sehingga neraca perdagangan dan perekonomian nasional semakin kuat.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan periode Mei 2018 defisit sebesar USD1,52 miliar. Menurut BPS defisit ini terjadi seiring besaran impor lebih besar dari total nilai ekspor pada Mei kemarin.

BPS mencatat angka ekspor yang mencapai 16,12 miliar dolar AS atau naik 10,90 persen dibandingkan April 2018 (month to month / m to m). Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year to year / y o y) ekspor bulan Mei meningkat 12,47 persen. Sementara itu dari sisi impor, pada periode tersebut terjadi kenaikan impor sebesar 9,17 persen dengan nilai 17,64 miliar dolar AS m to m. Secara tahunan (y o y), impor tumbuh 28,12 persen.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement