REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menegaskan, KPK meminta agar delik tindak pidana korupsi (tipikor) dikeluarkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KPK menilai, tidak ada keuntungan jika delik tipikor masuk dalam RKUHP.
"Tidak ada keuntungan atau insentif yang didapatkan dalam pemberantasan korupsi jika delik-delik tipikor masuk dalam RKUHP," kata Laode di Bogor, Rabu (4/7).
Laode menyampaikan hal itu setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo bersama Ketua KPK Agus Rahardjo, dan tiga Wakil Ketua KPK lain Alexander Marwata, Saut Situmorang, dan Basaria Panjaitan. Selain pimpinan, hadir pula Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang.
Hasil pertemuan itu adalah Presiden Joko Widodo memerintahkan penundaan tenggat waktu pengesahan RKUHP dari awalnya 17 Agustus 2018 menjadi tanpa batasan waktu. "Masuknya delik-delik tipikor dalam RKUHP akan menimbulkan multi-interpretasi sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum," ungkap Laode.
Bahkan masuknya delik tipikor dalam RKUHP juga akan menghilangkan kekhususan dan keseriusan dalam pemberantasan korupsi dan akan mengirim pesan yang tidak baik bagi upaya pemberantasan korupsi.
"Pengaturan kekhususan tindak pidana korupsi sebagai 'extra ordinary crime' di Indonesia telah diakui dunia internasional dan dianggap sebagai 'best practices' sehingga memasukan delik-delik tipikor dalam RKUHP dianggap sebagai langkah mundur," tegas Laode.
Menurut Laode, Presiden Joko Widodo mendengarkan kekhawatiran KPK dan masyarakat serta memerintahkan tim pemerintah untuk memikirkan dan mengkaji lebih dalam lagi bahasan RKUHP. "Dan tidak perlu terburu-buru pengesahannya agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat," tambah Laode.
Baca juga: Yasonna: RKUHP tak Harus Disahkan 17 Agustus 2018
Sementara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, sebenarnya masukan dari KPK telah diakomodasi dalam RKUHP. "Apa yang dikritik oleh KPK selama ini sudah diakomodasi di dalam UU itu, di dalam rumusan KUHP. Tetapi masih ada keinginan KPK udah keluarkan aja mutlak-mutlak saja," ujarnya.
Yasonna menilai, perbedaan persepsi terkait kodifikasi yang menjadi masalah selama ini. Karena itu, selanjutnya presiden juga akan mendengarkan masukan dari pihak lainnya.
"Tidak ada keinginan dari pemerintah. Ini hanya mispersepsi melihatnya saja ini. Keinginan tim juga begitu, keinginan pemerintah juga begitu, sama sebetulnya," ucap Yasonna.
Kendati demikian, ia memastikan pengesahan RKUHP tak akan molor. Pengesahan, kata dia, ditargetkan dilakukan pada tahun ini. "Ndak lah. Kami tinggal fine tuning saja ini. Tapi jangan dipaksakan sampai 17 Agustus ini (harus disahkan RKUHP)," ujar Yasonna.