Kamis 07 Jun 2018 22:30 WIB

Delik Korupsi di RKUHP Dinilai Bikin Kisruh Penegakan Hukum

Maneger menilai masuknya delik korupsi di RKUHP bisa menimbulkan kekisruhan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Komnas HAM Maneger Nasution
Foto: Republika/ Musiron
Anggota Komnas HAM Maneger Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution menilai masuknya pidana khusus seperti korupsi dan lainnya dalam RKUHP akan menimbulkan kekisruhan dalam penegakan hukum. Sebab dalam UU Tipikor, disebutkan soal adanya lembaga yang khusus menangani kasus korupsi, yakni KPK.

"(Bila RKUHP disahkan), kewenangan penyidikan tindak pidana tersebut akan beralih kepada Polisi dan Kejaksaan, sehingga secara perlahan membahayakan dan menghilangkan posisi KPK yang melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi," kata dia, Kamis (7/6).

Selain itu, Maneger mengungkapkan ada beberapa poin dalam RKUHP yang melemahkan tindak pidana korupsi. Pertama, yaitu adanya pengurangan hukuman minimum khusus dalam RKUHP pada tindak pidana korupsi.

Dalam pasal 2 UU Tipikor, diatur bahwa pidana minimum paling singkat 4 tahun. Sedangkan dalam RKUHP menjadi paling singkat 2 Tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 687 RKUHP.

Kedua, dalam UU Tipikor, percobaan tindak pidana korupsi dikenakan pidana yang sama dengan perbuatan selesai sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar. Sedangkan dalam RKUHP, pidana untuk percobaan tindak pidana korupsi adalah 2/3 dari ancaman pidana pokok yang diancamkan.

Ketiga, dalam UU Tipikor, pembantuan melakukan tindak pidana dipidana sama dengan perbuatan selesai sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar. Sedangkan dalam R-KUHP pembantuan dikurangi 1/3 dari ancaman pidana pokok.

"Keempat, dalam RKUHP tidak terdapat pidana tambahan berupa penggantian kerugian negara," papar dia.

Menurut Maneger, dalam perkembangan zaman, akan semakin banyak berbagai macam bentuk tindak pidana khusus yang akan terjadi, terlebih pada korupsi. Tentu tidak cukup jika delik tindak pidana khusus tersebut dimasukan dalam RKUHP.

Kasus korupsi, lanjut Maneger, membutuhkan penanganan secara khusus. Karena itu, korupsi sebagai tindak pidana khusus harus tetap dibiarkan di luar RKUHP dan berdiri di atas UU yang lebih khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Pembahasan R-KUHP tentu membutuhkan masukan dan dari semua pihak, sehingga proses pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR diharapkan secara transparan dan tidak terburu-buru untuk disahkan pada Agustus 2018 ke depan.

"Pemerintah dan DPR sebaiknya menunjukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, dengan tidak menjadikan proses pembahasan RKUHP ini sebagai upaya jalan memutar untuk melakukan pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement