Selasa 05 Jun 2018 20:24 WIB

Kapolri: Penyebaran Terorisme Manfaatkan Momentum Demokrasi

Sel terorisme juga dinilai memanfaatkan kemudahan akses teknologi informasi.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan keterangan mengenai penindakan terduga teroris seusai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (22/5).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan keterangan mengenai penindakan terduga teroris seusai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyebutkan, masalah penyebaran sel terorisme di berbagai wilayah yang belakangan terjadi karena adanya momentum demokrasi dan kebebasan di masyarakat. Tito menjelaskan, sel terorisme memanfaatkan kemudahan akses karena adanya teknologi informasi dan media sosial.

"Saya tidak mengatakan kebebasan ini mengakibatkan terjadinya terorisme, tapi ideologi terorisme mengambil momentum itu," kata Tito di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa (5/6).

Adanya kemudahan komunikasi melalui membuat penyebaran sel terorisme menjadi lebih mudah. Akibatnya, kata Tito, sel terorisme ini bisa menyebar ke siapa saja tidak harus kelompok tertentu dengan penampilan tertentu.

"Ini bisa masuk ke mahasiswa, masuk bisa ke anak-anak, satu keluarga seperti kasus Surabaya, bahkan kasus itu juga terjadi di lingkungan polisi. Ada satu polisi yang ditangkap di Jambi," kata Tito.

Kendati demikian, Tito meminta masyarakat tidak khawatir. Ia memastikan, Polri telah melakukan pemetaan pada sel-sel terorisme. Tito enggan menyebut daerah mana saja yang rawan terorisme karena tidak ingin menimbulkan keresahan di masyarakat.

Tito pun meminta pemerintah dan bersama untuk memohon dukungan dari ormas untuk membendung ideologi radikal mengarah ke terorisme agar tidak tersebar. "Tolong waspadai bagi masyarakat jangam mudah terbawa ke ideologi terorisme ini," kata dia.

"Jangan cerna begitu saja informasi-informasi yang nantinya, ujungnya adalah mengajak aksi kekerasan, membunuh masyarakat lainnya," kata Tito menambahkan.

Berbicara di tempat terpisah, Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) meminta anggota akademis di lingkungan perguruan tinggi memiliki peran untuk mengawasi dan mendampingi setiap kegiatan keagamaan. Termasuk para dosen harus memahami cara mengatasi radikalisme.

Hal ini agar para penceramah di perguruan tinggi tidak memberikan pemahaman radikal kepada mahasiswa. "Maka tentu para ustaz dan dai di universitas, termasuk guru agama dan dosen-dosen, harus memahami bagaimana radikaliame itu diatasi," kata Kalla di Istana Wakil Presiden, Selasa (5/6).

Kalla menilai, paham radikalisme dapat dilawan dengan pengetahuan maupun pola pikir yang benar dan sesuai dengan kaidah dasar agama. Karena itu, dia meminta agar perguruan tinggi memberikan pemahaman kepada seluruh mahasiswanya dengan benar.

"Radikalisme itu muncul dari pikiran, pengaruh, dan pengetahuan yang salah. Untuk mengurangi dan menghentikan radikalisme, universitas harus memberikan pemahaman kepada seluruh mahasiswanya hal yang benar dan sesuai," ujar Kalla.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement