Senin 04 Jun 2018 15:40 WIB

Soal RKUHP, Legislator Nasdem: Kekhawatiran KPK tidak Tepat

Legislator Nasdem menegaskan rancangan UU KUHP tidak melemahkan KPK

Rep: Mabruroh/ Red: Bayu Hermawan
Anggota DPR Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi (kanan).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Anggota DPR Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Teuku Taufiqulhadi mengatakan RUU KUHP tidak akan melemahkan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika masih ada yg berpendapat demikian, menurutnya itu hanya kekhawatiran yang tidak berdasar.

"Jadi kalau ada pendapat yang mengatakan itu akan melemahkan maka itu pendapat yang sangat-sangat tidak tepat, karena itu hanya kekhawatiran yang tidak berdasar," tegasnya, Senin (4/6).

Taufiq menjelaskan, jika KPK ingin melakukan operasi tangkap tangan (OTT) maka lakukan seperti biasanya. Atau jika KPK ingin melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan maka hal tersebut juga dapat dilakukan seperti biasa.

"Keberadaan RUU KUHP tidak menghalangi itu semua. Silahkan saja, berjalan saja, jadi ketika ada yang ngomong ini (RUU KUHP) melemahkan, itu kekhawatiran yang tidak berdasar," jelasnya.

Karena pada dasarnya tambah, Taufiq perihal tentang pengaturan denda, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tetap KPK bisa gunakan UU Tipikor. Karena hal tersebut hal teknis dan hal teknis tidak diatur dalam KUHP.

"Jadi hal yang teknis tidak diatur di KUHP, itu diatur di UU Tipikor yang telah ada," ucapnya.

Baca juga: ICW: KPK Bukan Membangkang Tapi Ingin Menyelamatkan Rumahnya

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyebut terdapat sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pertama, tentang kewenangan kelembagaan KPK karena Undang-Undang KPK menentukan bahwa mandat KPK itu adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

"Itu tegas, jadi kalau nanti masuk di dalam KUHP Pasal 1 Angka 1 itu, Undang-Undang KPK apakah masih berlaku atau tidak? Apakah bisa KPK menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi karena itu bukan Undang-Undang Tipikor lagi tetapi undang-undang dalam KUHP," kata Syarif saat konferensi pers di Gedung KPK RI, Jakarta, Rabu.

Sementara itu, kata dia, di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) itu tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK. "Itu tidak disebutkan juga apakah di dalam RKUHP itu sekarang tetap disebutkan kewenangan lembaga KPK, bahkan terus terang sampai hari ini draf akhir dari RKUHP itu saya belum miliki, sudah diminta tetapi selalu berubah-ubah walaupun saya ikuti terus tetapi bahwa ini draf terakhir finalnya yang akan diserahkan ke DPR belum saya lihat juga wujudnya," tuturnya.

Kedua, kata Syarif, di dalam RKUHP diwacanakan ada aturan-aturan baru yang diadopsi dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Misalnya korupsi di sektor swasta.

"Akan tetapi, dengan masuk ke dalam KUHP itu, apakah nanti KPK berwenang untuk menyelidik, menyidik, dan menuntut korupsi di sektor swasta, padahal di negara-negara lain itu korupsi, baik publik maupun swasta, itu menjadi salah satu kewenangan dari Malaysia Anti-Corruption Commission (Malaysia) maupun Corrupt Practices Investigation Bureau (Singapura)," ujarnya.

Keempat, terjadi perbedaan jarak atau disparitas ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi dengan pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP. "RKUHP tidak mengatur tindak pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Padahal, ini penting banget karena kalau denda itu biasanya terlalu sedikit kalau selama ini mendapatkan pengembalian aset itu dapat dengan uang pengganti, tetapi di dalam RKUHP tidak dikenali," kata Syarif.

Selanjutnya, di dalam RKUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi. "Padahal, kalau di UU Tipikor sekarang dianggap sama saja melakukan percobaan dengan melakukan tindak pidana korupsi," ungkap Syarif.

Persoalan lainnya, kata dia, beberapa tindak pidana korupsi dari UU Tipikor dimasukkan ke dalam Bab Tindak Pidana Umum RKUHP. "Kalau masuk tindak pidana umum, berarti relevansi KPK sebagai lembaga khusus itu 'kan jadi dipertanyakan lagi. Jadi, bisa akan menimbulkan kendala hukum yang menurut saya akan lebih susah untuk diselesaikan," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement