REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto membantah adanya perbedaan pandangan antara Detasemen Khusus 88 Antiteror dan Kapolri Tito Karnavian terkait definisi terorisme dalam pembahasan RUU Antiterorisme. Revisi tersebut akan mulai dibahas DPR pada Rabu (23/5).
"Tidak ada, kita selalu satu komando. Kalau Kapolri sudah katakan A, sampai ke bawah A. Jadi, tidak ada Densus dan Kapolri beda," ujar Setyo di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa (22/5).
Setyo mengakui adanya perbedaan pandangan dalam frasa ideologi, politik, dan keamanan negara yang masuk dalam definisi terorisme dalam pembahasan RUU Antiterorisme antara Polri dan DPR. Kendati demikian, ia berharap baik Polri maupun pemerintah dan DPR dapat segera menemukan titik temu.
"Rencana besok akan dirapatkan lagi moga-moga sudah ada titik temu," kata dia. Perbedaan definisi ini merupakan 'ganjalan' yang menyebabkan tidak segera disahkannya RUU Antiterorisme.
Sebelumnya, Ketua Pansus Revisi Undang-Undang (RUU) Antiterorisme M Syafii mengatakan, RUU Aniterorisme sudah rampung 99 persen. Menurut dia, pemerintah sudah satu suara dengan pengertian yang diusulkan beberapa pihak bahwa definisi terorisme, selain adanya tindak kejahatan yang bisa menimbulkan ketakutan masif, menimbulkan korban, dan merusak objek vital yang strategis, adalah mengancam keamanan negara dan punya tujuan politik serta ideologi.
"Semua satu suara tentang itu makanya kita heran kalau kemudian dalam rapat pansus itu pihak Densus menolak, ada apa?" ujarnya.
Politikus Partai Partai Gerindra itu menyebut alasan Densus 88 menolak definisi tersebut karena dinilai bisa mempersempit ruang gerak. "Mempersempit apa? Kalau kemudian tidak bisa bebas menangkap ya memang harus tidak bebas karena di negara hukum, aparat penegak hukum pada dasarnya tidak ada kewenangan apa pun kecuali yang diberikan oleh hukum itu sendiri," kata dia.