REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam putusannya menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Senin (7/5) kemarin. Pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir mempertanyakan putusan hakim PTUN tersebut.
"Putusan PTUN ini apa sih? Kan mestinya yang dia periksa apakah pembubaran tanpa melalui prosedur pengadilan dibolehkan atau tidak, sah atau tidak? Kan mestinya ini yang dipersoalkan, ini pembubaran HTI yang tanpa mendasarkan pada putusan pengadilan," kata Muzakir saat dihubungi, Selasa (8/5).
Muzakir menerangkan, harusnya PTUN menguji apakah pembubaran yang dilakukan terhadap HTI sudah sesuai dengan mekanisme atau tidak. Jika pembubaran hanya dilakukan atas keputusan Menteri tanpa melalui sidang pidana atas perkara yang dituduhkan sah atau tidak.
"Seharusnya prosedurnya itu sah atau tidak kalau membubarkan organisasi hanya dilakukan oleh menteri hukum dan HAM saja tanpa ada putusan perkara pidananya di pengadilan," ungkap Muzakir.
Namun kata dia, berdasarkan keputusan yang dibacakan oleh hakim PTUN, gugatan ditolak berlandaskan pada pelanggaran-pelanggaran yang bahkan hanya dibacakan oleh seorang administrasi, bukan berdasarkan putusan pengadilan pidana yang membuktikan.
"Orang tidak ada putusan yang dinyatakan (HTI) melanggar, hanya omongannya orang administrasi dikatakan sebagai melanggar, itu tidak benar itu hakim mengkonstruksikan dalam hubungannya dengan masalah HTI," ungkap Muzakir.
Harusnya jelas dia, sebelum dilakukan pembubaran harus terlebih dahulu dilakukan pembuktian atas dugaan pidana yang dilakukan HTI. Jika memang untuk membuktikan membutuhkan waktu yang lama maka ikut saja prosedur yang ada.
"Maling saja kan tidak melanggar hak konstitusional waktunya lama, rampok juga lama waktunya. Nah ini melanggar hak konstitusi," kata Makdir.