REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus tewasnya dua anak dalam acara di Monas dan klaim persekusi dalam CFD dinilai sebagai ujian profesionalisme yang besar bagi Polri. Apakah Polri hanya menjadi alat kekuasaan semata? Atau, apakah Polri akan sesuai harapan reformasi, yaitu aparat penegak hukum yang profesional?
Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo, mengatakan, pandangan masyarakat terhadap Polri saat ini masih negatif. Hal ini disebabkan Polri, bersama DPR dan beberapa lembaga lain, dianggap sebagai salah satu lembaga terkorup.
"Kasus Novel Baswedan dan perlakuan terhadap ulama yang kritis ikut memperburuk pandangan tersebut,” kata Dradjad kepada Republika.co.id, Jumat (4/5).
Padahal, kedudukan dan prestise dari Polri "jaman now”, menurut Dradjad, merupakan salah satu buah dari reformasi 20 tahun lalu. "Polri dilepas dari ABRI. Kapolri diberi kedudukan setingkat menteri. Prestise Polri pun naik drastis,” ungkapnya.
Bukan hanya itu, menurut Dradjad, kewenangan Polri diperluas dan sangat diperkuat oleh berbagai undang-undang, khususnya UU No 2/2002. Pidana lalu lintas, KDRT, hingga narkoba dan perdagangan manusia, semuanya ditangani Polri.
"Dalam penanganan terorisme pun Polri menjadi lembaga terdepan. Peranan TNI lebih bersifat membantu jika dibutuhkan,” papar Dradjad.
Selain itu, lembaga penting seperti BNPT dan BNN secara konvensi dipimpin oleh pati Polri. Lembaga yang paling dipercaya rakyat, yaitu KPK, juga banyak diisi oleh aparat Polri, mulai dari unsur pimpinan hingga penyidik.
Bahkan, sekarang, lanjut Dradjad, pati Polri juga dipercaya memimpin lembaga superstrategis seperti BIN hingga lembaga yang krusial menangani pangan, yaitu Bulog.
"Dengan kata lain, reformasi telah memberi Polri masa keemasan. Dalam sejarah RI, hemat saya baru kali ini Polri dipercaya dan ditempatkan oleh negara sedemikian tinggi,” kata politikus PAN ini.
Itu semua karena melalui reformasi, rakyat berharap hukum ditegakkan. Rakyat berharap persamaan di hadapan hukum diwujudkan. Rakyat berharap bisa hidup tenang karena jika ada kejahatan apa pun, Polri selalu melindungi, mengayomi, dan melayani.
"Diakui atau tidak, Polri masih belum bisa mewujudkan harapan tersebut sepenuhnya,” ungkapnya.
Menurut Dradjad, kasus tewasnya dua anak dalam acara di Monas dan klaim persekusi dalam CFD menjadi batu ujian lanjutan bagi Polri. Apalagi, berbagai fakta sudah muncul di media konvensional maupun media sosial.
"Antara lain, adanya indikasi kelalaian panitia bagi-bagi sembako di Monas, munculnya indikasi gelang kode dalam CFD, dan sebagainya,” papar Dradjad.
Rasa keadilan jelas terluka ketika belum apa-apa, ada pejabat polda yang langsung mengangkat keterbelakangan mental. Jika profesional, menurut Dradjad, terbelakang mental atau tidak, ketika dua anak tewas dalam sebuah acara, Polri seharusnya menjawab “siap lakukan penyelidikan dan jika perlu penyidikan”.
"Jika profesional, mereka yang ada dalam foto dan video memakai gelang yang sama akan diselidiki hingga tuntas,” ungkapnya.
Hanya dengan profesionalisme, persepsi negatif terhadap Polri bisa dikikis. "Mei ini adalah bulan reformasi, 20 Tahun Reformasi. Sudah saatnya Polri di bawah pak Tito membalas kebaikan rakyat. Insya Allah bisa,” kata dia.