REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Hamdan Basyar meminta komponen masyarakat tidak mudah langsung menghakimi seseorang terkait atau masuk dalam jaringan terorisme. Untuk mendeteksi seseorang apakah terkait jaringan terorisme atau bukan, tidak bisa langsung melihat secara fisik.
“Secara fisik sulit mengidentifikasi teroris, bercelana cingkrang bukan berarti teroris, jadi jangan mudah langsung menghakimi," kata M Hamdan Basyar di Jambi, Sabtu (28/4).
Dalam paparannya pada disukusi penguatan terhadap aparatur desa/kelurahan dalam menangkan radikalisme itu, dia mengajak semua stakeholder dan masyarakat untuk mengidentifikasi teroris dengan gerak dan perilakunya. Menurut dia, perbedaan teroris atau bukan teroris bisa dilihat dari berbagai kriteria dan gerak-geriknya, bukan cuma melihat dengan tampilan fisik saja.
"Biasanya mereka menggunakan identitas palsu. Mereka (teroris) juga biasanya tinggal tanpa izin dengan ketua RT atau kepala desa setempat," katanya menjelaskan.
Masyarakat, kata Hamdan, dapat mengidentifikasi teroris itu dengan cara melihat apakah seseorang itu bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya dan apakah mereka membeli bahan kimia dengan jumlah yang besar. "Mereka (pelaku teroris) juga biasanya menyebarkan informasi, buku, pamflet, ataupun video dan juga mereka sering mengunjungi situs atau website radikal," ujarnya.
Hamdan menilai perlu dilakukan hubungan komunikasi di tengah masyarakat. Terutama, dia mengatakan, dalam membangun komunikasi positif antara TNI/Polri, pemerintah daerah dan juga antarsesama warga untuk mengantisipasi keberadaan jaringan teroris di tengah masyarakat.
Selain itu, Hamdan juga mendorong kepada pemerintah desa untuk membuat aturan dan membuat peta geografis, demografis, sosiologis, ekonomi dan politik. Ini untuk sebagai cara mengantisipasi bahaya radikal terorisme ini.
Pejabat BNPT Letkol (Sus) Solihudin Nasution mengatakan saat ini terorisme melakukan kegiatannya sudah tidak offline lagi. Dia mengatakan saat ini pelaku teroris sudah menyebarkan pahamnya lewat kegiatan online atau melalui media sosial dan situs website lainnya.
"Saat ini semua orang punya potensi yang sama menjadi teroris. Bisa itu masyarakat biasa, pemuda, akademisi, hingga pejabat pemerintah. Sama seperti narkoba, semua orang berpotensi sama menjadi pengkosumsi narkoba," katanya.
Dia mengatakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah memiliki alat teknologi untuk melihat konten-konten negatif yang mengarah ke radikal terorisme. Dia menambahkan alat itu juga digunakan untuk mengidentifikasi aktivtas pelaku terorisme.
Dalam penanggulangan paham radikalisme itu, menurutnya, sangat diperlukan sinergitas untuk menangkal dan menghadapi pelaku terorisme dan juga mantan terorisme setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. BNPT tidak mampu menjangkau secara keseluruhan.
“Seperti kejadian di Bandung, orang itu pernah di Lapas. Tapi setelah keluar, masyarakat tidak mau tahu. Akhirnya dia melakukan aksi itu lagi, jadi sebaiknya ketika para narapidana terorisme itu keluar dari Lapas, kita antar ke masyarakat, kita antar ke bupatinya, kita antar ke kepala desanya, supaya mereka diterima dan tidak melakukan perbuatannya lagi," katanya menjelaskan.
Ketua FKPT Provinsi Jambi, Ahmad Syukri Saleh mengatakan tahun ini terdapat lima kegiatan yang dilaksanakan dengan menyasar berbagai kelompok masyarakat sebagai cara untuk menangkal tumbuh kembangnya aksi radikal terorisme. "Jika ada yang mencurigakan, asing, tidak lazim, itu perlu kita waspadai. Kalau semua bergerak mudah-mudahan Jambi bisa tenang dan damai," kata Ahmad Syukri.