Selasa 24 Apr 2018 19:59 WIB

KPK Periksa Keponakan Setnov untuk Fayakhun

Irvanto diperiksa bukan terkait kasus KTP-el, melainkan dugaan korupsi di Bakamla.

Mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang juga keponakan Setya Novanto bersiap untuk dilakukan pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta, Selasa (3/4).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang juga keponakan Setya Novanto bersiap untuk dilakukan pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta, Selasa (3/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Irvanto Hendra Pambudi yang juga keponakan Setya Novanto tersebut dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan penganggaran di Bakamla RI. Dia dimintai keterangan terkait tersangka Fayakhun Andriadi.

"Tadi Irvanto kami periksa sebagai saksi untuk perkara lain jadi bukan untuk perkara KTP-El. Irvanto kami periksa sebagai saksi untuk tersangka Fayakhun Andriadi dalam kasus dugaan korupsi terkait dengan pengadaan penganggaran di Bakamla," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/4).

KPK telah menetapkan Irvanto sebagai tersangka tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-El). "Saya belum dapat informasi lebih rinci materi pemeriksaannya apa tetapi keterangannya dibutuhkan untuk mengklarifikasi beberapa fakta persidangan yang sebelumnya sempat muncul baik di kasus KTP-elektronik ataupun di kasus Bakamla tersebut," kata Febri.

Sebelumnya dalam persidangan, Managing Director PT Rohde and Schwarz Erwin Arif mengakui proyek satellite monitoring dan drone di Bakamla melibatkan Setya Novanto. "Kalau SN ini maksudnya siapa?" tanya jaksa penuntut umum KPK Kiki Ahmad Yani dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (24/1) lalu.

"Kalau SN saya sebenarnya tidak kenal, dugaan saya Setya Novanto karena menyangkut Partai Golkar," jawab Erwin.

Erwin bersaksi untuk mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi di Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Nofel Hasan yang telah divonis empat tahun penjara . Dia terbukti menerima suap 104.500 dolar Singapura (sekitar Rp1,045 miliar).

KPK telah menetapkan Fayakhun yang merupakan anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar itu sebagai tersangka pada 14 Februari 2018. Fayakhun selaku anggota DPR periode 2014-2019 diduga menerima hadiah atau janji.

Padahal diketahui atau patut diduga bahwa dia atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya. Di mana hal tersebut bertentangan dengan kewajiban Fayakhun  terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan RKAKL dalam APBN Tahun 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.

Fayakhun disangkakan menerima uang senilai Rp 12 miliar dan 300 ribu dolar AS ketika masih menjabat sebagai anggota Komisi I DPR. Saat ini, ia sudah tidak lagi berada di komisi tersebut, tetapi duduk di Komisi III yang bermitra dengan KPK.

Fayakhun diduga menerima fee atau imbalan dari tersangka Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya M Adami Okta. Imbalan itu atas jasa memuluskan anggaran pengadaan satellite monitoring di Bakamla pada APBN tahun anggaran 2016.

Imbalan tersebut sebesar 1 persen dari total anggaran Bakamla senilai Rp 1,2 triliun atau senilai Rp 12 miliar. Fee diberikan  secara bertahap sebanyak empat kali. 

Selain itu, Fayakhun juga diduga menerima uang sejumlah 300 ribu dolar AS. Fayakhun disangkakan melanggar 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah. Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman hukumannya, yakni minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement