Rabu 11 Apr 2018 21:19 WIB

Adiguna Sutowo Kembali tak Penuhi Panggilan KPK

Adiguna tak hadir dengan alasan sakit

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, menyampaikan penetapan tersangka baru saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (30/9)
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, menyampaikan penetapan tersangka baru saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (30/9)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha Adiguna Sutowo kembali tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia. Adiguna tak hadir dengan alasan sakit

"Adiguna Sutowo dari swasta, saksi untuk Emirsyah Satar sedang sakit. Pemeriksaan akan dijadwalkan ulang," kata Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Rabu.

Sedianya KPK pada Rabu memanggil Adiguna untuk tersangka Emirsyah Satar yang merupakan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia 2005-2014. Sebelumnya Adiguna yang merupakan pendiri sekaligus petinggi dari PT Mugi Rekso Abadi (MRA) itu juga tidak memenuhi panggilan KPK pada Selasa (20/3) mengaku kurang sehat.

KPK pada Selasa (10/4) juga telah memeriksa Maulana Indraguna Sutowo yang juga anak dari Adiguna sebagai saksi untuk tersangka Emirsyah Satar. Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) sekaligus suami aktris Dian Sastrowardoyo memilih irit bicara seusai diperiksa.

"Saya apresiasi profesionalisme KPK, seperti tadi rekan saya sampaikan saya menghargai dan sebagai warga negara yang baik saya menghadiri panggilan yang ditentukan," kata Indra seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/4).

KPK membutuhkan keterangan Indra terkait mekanisme keuangan dan korporasi di PT MRA sehubungan dengan posisi tersangka Soetikno Soedarjo di PT MRA. KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus itu, yakni mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia 2005-2015 Emirsya Satar dan presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo.

Emirsyah Satar dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia Tbk.

Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku "beneficial owner" dari Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura.      Soektino diketahui merupakan presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.

Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi Serious Fraud Office (SFO) Inggris sudah dikenai denda sebanyak 671 juta pounsterling (sekitar Rp11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, China, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, Anggola.

KPK awalnya menerima laporan dari SFO dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara, SFO dan CPIB pun mengonfirmasi hal itu ke KPK termasuk memberikan sejumlah alat bukti. KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada di luar negeri.

Emirsyah disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Namun, sampai saat ini KPK belum menahan keduanya meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Januari 2017 lalu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement