Jumat 30 Mar 2018 17:49 WIB

Tuntutan JPU KPK untuk Setnov Terlalu Berat?

Mudzakir menilai tuntutan Setnov bukan berdasarkan tindak pidana korupsinya

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan KTP elektronik Setya Novanto mengikuti sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3).
Foto: Republika/Prayogi
Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan KTP elektronik Setya Novanto mengikuti sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Mudzakir menilai, tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) terhadap terdakwa kasus pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) Setya Novanto terlalu berat dan membingungkan. Argumen tersebut didasarkan pada keterangan JPU KPK dalam menentukan hukuman kepada terdakwa.

"Ya (berat dan membingungkan), kenapa? Karena jika mendengar apa yang diuraikan oleh JPU, yang paling dipertimbangkan itu karena Novanto telah menyulitkan dan tidak kooperatif selama penyidikan. Jadi bukan karena tindak pidana korupsinya. Nah ini yang menurut prinsip hukum tidak boleh," kata Mudzakir kepada Republika.co.id, Jumat (30/3).

Menurut Mudzakir, seharusnya dalam menuntut hukuman, JPU lebih mengutamakan pada motif kejahatan terdakwa. Bukan mengutamakan pada sikap kooperatif terdakwa selama penyidikan.

Sebab, jika sikap kooperatif tersebut menjadi faktor utama maka arah hukumannya jadi berbeda. Lagipula, jelas dia, kewajiban untuk membuktikan kebenaran bukan tugas terdakwa, tetapi penuntut umum yang dimulai dari penyidik.

"Jadi sulit tidak sulit itu kan tantangan penyidik. Dan yang saya lihat tuntutan kepada Novanto memang faktor utamanya lebih karena ketidakkooperatifannya bukan karena korupsinya. Kalau karena korupsinya saya rasa tidak setinggi itu tuntutannya," terang Mudzakir.

Selain itu, dia juga menyoroti dan mengkritisi teknik dakwaan JPU KPK yang dinilai kurang tepat. Seperti halnya dalam surat dakwaan, kata dia, Novanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, tetapi ketika diadili, mereka malah sendiri-sendiri.

"Kalau sendiri-sendiri itu kan berarti sifat kebersamaannya akan hilang, jadi seolah-olah Novanto itu adalah otak dari segala otak korupsi KTP-elektronik. Kesan publik kan seperti itu," kata dia.

Kasus KTP-el, lanjut Mudzakir, bukan proyek DPR RI melainkan proyek pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Adapun DPR, bisa dikatakan sebagai pihak kedua yang menerima suap, dan ada juga pihak ketiga yang memiliki kepentingan seperti lembaga dan perusahaan swasta.

Batasan-batasan tersebutlah, yang menurut Mudzakir tidak diterapkan secara benar oleh KPK dalam teknik dakwaan. Sehingga ketika menuntut pidana dan menentukan denda, akan menimbulkan ambiguitas dan pertanyaan-pertanyaan publik.

"Misalnya kan kerugian negara itu total Rp 2,5 triliunan, nah perjelas DPR makan uangnya berapa, Novanto berapa, swasta dan lainnya berapa. Ini tentunya harus diperjelas, agar denda dan tuntutan yang diberikan kepada masing-masing terdakwa sesuai dan tidak membingungkan," kata Mudzakir.

Dia juga menyarankan, agar ke depan KPK tidak lagi mengadili terdakwa secara sendiri-sendiri. Menurut dia, sebaiknya KPK melakukan klasterisasi. Misalnya mengadili tiga klaster yaitu kelompok pemerintah, lalu kelompok DPR, dan terakhir kelompok swasta.

"Jadi ya mereka itu kalau diadili, ya bersamaan tidak sendiri-sendiri, sudah sepaket. Saya kira, klasterisasi juga bertujuan untuk menjaga adanya terdakwa yang 'terlupakan' atau 'dihilangkan'," jelas Mudzakir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement