REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto merasa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengganti peserta pilkada yang tersangkut kasus pidana belum diperlukan. Menurutnya, belum ada kegentingan yang memaksa perppu tersebut untuk dibentuk.
"Hasil perbincangan tadi ya banyak mudharatnya, karena perppu itu ada kegentingan memaksa, padahal (saat ini) tidak ada kegentingan memaksa," tutur Wiranto usai melaksanakan Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (28/3).
Menurutnya, jumlah peserta pilkada yang menjadi tersangka hanya sedikit. Karena itu pula ia menilai kegentingan untuk perppu itu dibentuk belum ada. Kegentingan, kata dia, dapat dinyatakan bila sesuatu berpengaruh terhadap ekonomi, wisata, dan lain sebagainya.
"Tidak ada, jumlahnya yang jadi tersangka juga sedikit. Tidak genting," kata dia.
Dalam Rakorsus itu juga dibahas mengenai penyelesaian masalah-masalah yang masih ditemukan terkait pilkada serentak. Muncul rencana, setiap satu bulan sekali Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengumpulkan pemangku kepentingan di daerah untuk berkoordinasi.
"Maka, setiap sebulan sekali Mendagri mengumpulkan pemangku kepentingan di daerah untuk melakukan koordinasi dan melaporkan perkembangan masing-masing," jelasnya.
Di samping itu, terkait dengan perppu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman juga sependapat dengan Wiranto. Menurutnya, perppu penggantian peserta pilkada yang tersangkut pidana belum diperlukan karena jumlah yang menjadi tersangka hanya sedikit.
"Kecuali tiba-tiba besok, itu tersangkanya tiba-tiba buanyak banget. Misalnya separuh lebih. Kalah sekarang kan baru sedikit saja. Tidak memengaruhi apa-apa," jelasnya.