Senin 26 Mar 2018 16:56 WIB

KPAI: 16 Anak Meninggal Akibat Kekerasan pada 2018

Ada 23 kasus kekerasan terhadap anak terjadi pada 2018.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Andri Saubani
  Anak-anak mengikuti acara kampanye Gerakan Nasional Anti-kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Senayan, Jakarta, Ahad (14/2). (Republika/Yasin Habibi)
Anak-anak mengikuti acara kampanye Gerakan Nasional Anti-kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Senayan, Jakarta, Ahad (14/2). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tak hanya anak berinisial C yang meninggal di Karawang, Jawa Barat, baru-baru ini, dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2018 setidaknya sebanyak 23 kasus anak mengalami kekerasan. Dari 23 kasus itu, 16 anak di antaranya meninggal di tangan orang tuanya.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Komisioner Bidang Keluarga dan Pengasuhan Rita Pranawati mengatakan, kekerasan yang dilakukan penanggung jawab utama pengasuhan bukanlah kasus yang pertama dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2018.

"Sampai Maret 2018 tercatat setidaknya sebanyak 23 kasus anak mengalami kekerasan mulai kekerasan fisik, dipukul berulang, disekap, setrika, dipasung, disulut rokok, ditanam hidup-hidup, bersama-sama menjatuhkan diri hingga diracun. Kemudian 16 meninggal di tangan ortu dan enam anak di antaranya kakak beradik," ujarnya saat konferensi pers mengenai Akhiri Kekerasan terhadap Anak di Rumahnya Sendiri, di Jakarta Pusat, Senin (26/3).

Ia menambahkan, ini hanya laporan yang masuk dan terpantau, belum ditambah kasus-kasus lainnya yang tidak dilaporkan KPAI. Dalam pantauan KPAI, kata dia, kekerasan tidak hanya terjadi pedesaan namun juga perkotaan.

Kekerasan tidak hanya terjadi di provinsi-provinsi seperti Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Tengah tepatnya di Pati, Jawa Timur seperti Surabaya, Jombang, Malang, Magetan, Jawa Barat seperti Tasikmalaya, Garut, Cirebon, Bekasi, Karawang, DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Timur hingga Papua. "Sedangkan kalau dilihat dari pelaku, yang melakukan kekerasan terhadap anak ini dilakukan di rumahnya sendiri yaitu orang dekat," ujarnya.

Rita menjelaskan, ibu menempati pelaku kekerasan tertinggi sebanyak 44 persen, ayah 18 persen, ibu dan ayah tiri sebanyak 22 persen, pengasuh 8 persen, dan pengasuh pengganti seperti tante dan ayah tiri sebanyak 8 persen. Ia menyinggung ibu menjadi pelaku kekerasan tertunggi karena konstruksi masyarakat patriaki, mereka tanpa dukungan keluarga dan pasangan.

Selain itu, perkawinan yang tidak diinginkan dan situasi tidak nyaman juga bisa menjadi penyebab. Adapun, penyebab orang tua melakukan kekerasan terhadap anak di antaranya karena ketidakharmonisan keluarga, faktor ekonomi, pengetahuan tentang pengasuhan yang kurang, dan masalah pribadi yang mengarah ke kesehatan mental.

Namun, kata Rita, tingkat pendidikan dan profesi tak mempengaruhi. Bahkan, ia pernah menemui pelaku kekerasan yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Terkait temuan kasus ini, Rita memiliki beberapa pesan.

"KPAI mengimbau agar orang tua agar menyadari bahwa anak adalah amanah dari Sang Maha Pencipta yang tidak pernah dapat memilih siapa orang tuanya. Dalam kondisi apa pun, kondisi anak harus diterima sebaik-baiknya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement