REPUBLIKA.CO.ID, Kasus kematian sejumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur selama beberapa bulan terakhir menjadi buah pemberitaan di sejumlah media baik nasional maupun lokal bahkan internasional. Kasus terakhir yang cukup menjadi buah pembicaraan media lokal, nasional dan Internasional adalah meninggalnya Adelina Sau, seorang TKI asal kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang meninggal akibat perbuatan keji yang dilakukan oleh majikannya di Malaysia.
Namun sebelum kasusnya Adelina Sau, ada begitu banyak kasus yang terjadi selama beberapa tahun sebelumnya yang berujung pada kematian TKI dan saat dipulangkan sudah dalam keadaan tak bernyawa di dalam peti.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya dalam sebuah kesempatan pertemuan dengan Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Hermono mengatakan, sungguh menyakitkan NTT harus terus menerima kiriman peti jenazah. Dirinya dan mayoritas warga NTT tentu merasa tidak nyaman melihat rakyat dan anak-anak NTT meninggal dengan cara seperti itu.
Yang dipertanyakan adalah apa saja yang dikerjakan di negeri Jiran Malaysia itu sehingga saat kembali ke kampung halamannya harus dalam keadaan tak bernyawa. Data dari (BNP2TKI) dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2018 terdapat 18 peti jenazah milik TKI NTT yang meninggal di Malaysia yang dipulangkan dan diterima oleh keluarga korban.
Sementara pada tahun 2017 menurut data dari Yayasan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), salah satu kelompok dampingan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada sekitar 68 kasus kematian TKI asal NTT yang meninggal sia-sia di negeri Jiran tersebut.
Keluarga Adelina Sau menangis saat melihat peti yang berisi jasad Adelina itu tiba di bandara El Tari Kupang, NTT, Sabtu (17/2). Adelina Sau TKW asal NTT itu meninggal di Malaysia setelah diduga mengalami penyiksaan oleh majikannya.
Mirisnya, mereka yang meninggal adalah TKI yang saat dikirimkan ke Malaysia diproses melalui jalur ilegal baik melalui bandara maupun dari pelabuhan. Contoh kasus adalah Adelina Sau yang diisksa majikannya dan meninggal ditemani seekor anjing di kamar belakang dari rumah tempat dirinya bekerja.
Di samping kasus Adelina Sau, ada lagi kasus terakhir adalah Milkau Boimau yang saat dipulangkan seluruh tubuhnya terdapat bekas jahitan mulai dari atas leher hingga perut bagian bawah.
Banyak pihak menilai bahwa hal tersebut diduga adanya penjualan organ manusia yang diduga sering terjadi di negeri Malaysia. Namun ada juga yang menilai bahwa bekas jahitan itu akibat otopsi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian di Malaysia mencari tahu penyebab kematiannya.
Keluarga pun berdalih bahwa diperlukan pemeriksaan pihak kepolisian setempat khususnya Polda NTT terkait meninggalnya anak atau cucu mereka itu. Kasus jahitan ini bukan merupakan kejadian pertama. Kejadian sebelumnya juga sempat menimpa Dolfina Abu pada tahun 2016 lalu. Bahkan berdasarkan catatan dari Rumah Perempuan, kurang lebih terdapat 27 orang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal NTT dipulangkan dengan tubuh penuh jahitan dan itu terjadi pada tahun 2016.
Berbgai kasus kematian TKI asal NTT seharusnya menjadi pelajaran bagi masyarakat khususnya para orang tua di NTT, yang artinya harus memikirkan berkali-kali untuk mengirimkan anaknya bekerja di luar NTT.
Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang salah terkait berbagai kasus kematian TKI asal NTT ini. Apakah orang tuanya tetap memberikan anaknya untuk bekerja di Malaysia setelah menerima "Uang sirih pinang" atau uang oko mama dari para calo?
Satgas TKI
Sebenarnya pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sudah memiliki Satuan Tugas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tugasnya adalah mulai dari mencegah dan menggagal pengiriman jika ada dugaan pengiriman TKI secara ilegal oleh oknum-oknum tertentu.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT Bruno Kupok mengatakan satgas itu dibentuk pada tahun 2016 lalu dan ditempatkan pelabuhan serta di bandara pernah menggagalkan keberangkatan banyak TKI ilegal ke luar negeri. Untuk periode Januari hingga Maret 2018 kurang lebih 117 calon TKI ilegal yang akan diberangkatkan digagalkan pengirimannya baik di bandara maupun di pelabuhan.
Namun sayangnya, menurut Direktur PIAR NTT Lerry Mboik, satgas yang dibentuk itu tidak berjalan dengan baik karena koordinasi yang dibangun tidak bagus. Ia pun menilai, bahwa Satgas tersebut hanya akan berjalan jika ada kasus besar yang mengakibatkan pemerintah pusat ikut terlibat, barulah satgas itu berjalan.
Hal ini tentu menjadi sebuah kritik keras bagi pemerintah NTT. Apalagi, menurut dia, kasus TKI ini akibat kurangnya lapangan pekerjaan di provinsi berbasis kepulauan. Artinya bahwa masalah ekonomi yang menjadi alasan mengapa sehingga banyak anak dibawah umur NTT yang terus dikirim ke luar dari NTT dengan identitas palsu.
Kejadian demi kejadian soal kasus TKI asal NTT ini, menurut Lerry Mboik, bisa saja melibatkan oknum-oknum aparat yang bermain dalam hal ini. Seharusnya penangkapan terhadap salah seorang staf keamanan bandara El Tari Kupang, dan penangkapan terhadap seorang pegawai di Imigrasi Kupang bisa menjadi bukti bahwa ada aparat yang bermain di dalam kasus itu. Oleh karena itu, Satgas harus bekerja lebih keras karena jaringan para perekrut TKI asal NTT ini sangat rapi.
Perketat pengawasan
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya meminta satuan tugas (satgas) pengawasan TKI di daerah itu memperketat pengawasan di pelabuhan-pelabuhan yang dimanfaatkan sebagai jalur pengiriman secara ilegal. Dia mengatakan, banyak cara yang ditempuh untuk meloloskan para calon TKI ilegal. Mereka bisa menempuh jalur laut ke Pulau Flores, menuju Labuan Bajo dan menyeberang ke Pulau Jawa.
Menurut Gubernur, oknum-oknum perekrut calon TKI ilegal memahami bahwa pengawasan satgas TKI di pintu-pintu bandara sudah cukup ketat, sehingga jalur laut menjadi pilihan mereka dalam beroperasi. Sementara NTT merupakan daerah kepulauan dengan pelabuhan ada di mana-mana yang membutuhkan pengawasan ekstra ketat.
Dengan kondisi geografis yang luas maka banyak calon TKI asal NTT yang berangkat ke Malaysia secara ilegal bisa luput dari pantauan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Pemerintah, lanjutnya, terus mengupayakan berbagai langkah agar kasus TKI asal NTT yang meninggal di Malaysia dan dipulangkan dengan peti jenazah, tidak terulang lagi.