Sabtu 24 Mar 2018 15:17 WIB

ICW Dorong KPK Buktikan 'Nyanyian' Setnov

Emerson menilai 'nyanyian' Setnov hanya awalan dari keseluruhan kasus korupsi KTP-el.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan pernyataan Setya Novanto (Setnov) terkait aliran dana dugaan korupsi KTP-el kepada Puan Maharani dan Pramono Anung perlu ditelusuri lebih lanjut. Menurutnya, ‘nyanyian’ Setnov hanya awalan dari keseluruhan kasus korupsi KTP-el. 

"Jika merujuk kepada dakwaan kepada Irman dan Sugiharto, jumlah penerima aliran dana korupsi ada 72 nama. Sementara yang diproses oleh KPK baru delapan orang. Maka, baru sekitar 10 persen saja dari nama-nama penerima aliran dana, yang diproses," ungkap Emerson dalam diskusi bertajuk 'Nyanyian Ngeri Setnov' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/3).

Dia melanjutkan, penyebutan nama Puan dan Pramono oleh Setnov sebagai pihak yang diduga ikut menerima aliran dana korupsi KTP-el merupakan hal menarik. Dalam konteks pernyataan Setnov, dana tersebut diberikan saat keduanya masih sama-sama menjadi anggota DPR.

Saat itu, Puan menjabat sebagai ketua fraksi PDIP sedangkan ramono Anung diketahui menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Kala itu, PDIP merupakan partai oposisi di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, dia mengingatkan dalam konteks penerimaan hasil korupsi tidak pernah mengenal partai oposisi maupun partai pro-pemerintah. 

"Kalau korupsi itu rata, sebab kalau tidak rata kan pasti akan ada letupan-letupan kecil. Ketika distribusi (hasil korupsi) itu mereka mencoba membuat semua pihak kecipratan. Maka tidak bisa begitu saja merujuk kepada argumen bahwa misal saya parpol oposisi maka saya tidak menerima, tidak bisa begitu," jelas Emerson.

photo
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto memberikan bukti pengembalian uang ke KPK dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/3). (Republika/Iman Firmansyah)

Emerson lantas mencontohkan kasus suap proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang melibatkan Komisi V DPR. Berdasarkan keterangan terpidana kasus tersebut, Damayanti Wisnu Putranti, semua fraksi di Komisi V DPR ikut menerima suap.

"Informasi dalam bentuk apapun merupakan hal wajib untuk ditelusuri oleh KPK. Apakah benar Puan dan Pramono ikut menerima aliran dana? Sebaiknya itu yang dikejar KPK," tegas Emerson.

Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (22/3), Setnov menyebut nama Puan dan Pramono menerima uang sebesar 500 ribu dolar AS dari proyek KTP-el. Uang tersebut diberikan oleh Made Oka Masagung.

Novanto mengatakan, dirinya mengetahui hal tersebut setelah Oka dan Andi Agustinus alias Andi Narogong berkunjung ke rumahnya. Mereka memberitahukan kepada Novanto uang dari proyek KTP-el sudah di eksekusi kepada beberapa pihak di DPR RI.

"Oka menyampaikan, dia menyerahkan uang ke dewan, saya tanya, 'Wah untuk siapa?' Disebutlah, tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, waktu itu ada Andi untuk Puan Maharani 500 ribu dolar AS dan Pramono 500 ribu dolar AS," ujar Novanto.

Baca juga: KPK Wajib Konfirmasi Soal Puan dan Pramono ke Saksi Lain

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement